JAKARTA - Pengamat ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menyatakan para pedagang konvensional harus beradaptasi dengan teknologi kalau tak mau tertinggal.
Meskipun, lanjut dia dampak dari e-commerce atau social commerce artinya memotong rantai pedagangan yang selama ini terbangun mulai dari pedagang grosir, pengecer, hingga ke pembeli. Dan situasi itu, menurutnya sudah terjadi.
"Kehadiran produsen atau agen besar langsung ke konsumen, menggerus rantai barang. Tapi di sisi lain bisa menambah rantai penjualan," ujarnya dikutip BBC Indonesia, Rabu (27/9/2023).
Sukmamalingga, salah satu pedagang grosir di Tanah Abang, akhirnya memutuskan menjajal jualan di TikTok sejak Mei lalu, setelah menyaksikan dua tokonya hidup segan mati tak mau.
Kata dia, daripada menunggu lebih baik mengejar bola. Mula-mula dua karyawannya jualan lewat platform live streaming di TikTok selama dua jam dari pukul 13.00-15.00 WIB. Sekarang nambah di jam 20.00-22.00 WIB.
Penontonnya stabil di angka 50-116 orang. Hingga kini, toko @lingga_collection sudah punya 12.000 pengikut.
Baju yang dijual kebaya brokat, kaftan, dan abaya. Sejak jualan Live di TikTok, dagangannya mulai laris. Sehari paling tidak ada 20 sampai 30 baju terjual.
Hitungannya saat ini 75% penjualan dari online, 25% offline. "Saya baca ke depan, offline enggak akan kayak dulu jual bal-bal. Pelan-pelan saya sarankan ke pedagang di Tanah Abang mesti buka pikiran kalau harus beralih ke online, beralih saja."
Jualan online, tetap tak laku
Tapi tak semua pedagang yang menjajal online mujur seperti Lingga. Ratna, pegawai toko @lolacollection di lantai 3a Blok B Tanah Abang mengaku pernah jualan via live streaming di TikTok selama beberapa bulan.
Itupun, kata dia, hanya terjual dua potong busana muslim. "Setelah itu enggak pernah live lagi di TikTok," ujar Retno.
Di lantai 3a sebagian besar kios sudah tutup, karena itu jarang ada pembeli yang mampir.
Retno bercerita dalam satu bulan cuma ada empat pembeli. Uang hasil penjualan itulah yang jadi upahnya per bulan sebesar Rp1,5 juta.
"Gaji segitu ya enggak cukup buat hidup di Jakarta. Tapi karena kondisi pasar begini, ya gajinya Rp1,5 juta, disyukuri aja."
Hal yang sama dialami Syamsul, pedagang grosir di lantai 5 Blok B, yang sempat coba jualan di toko online, namun tak laris dan akhirnya berhenti.
Lagi pula, menurut dia, jualan di online tak bisa dalam jumlah besar. Sementara dia bikin satu model baju minimal 60 potong harus habis.
Itu mengapa Syamsul kesal dengan maraknya toko online lantaran harga yang ditawarkan katanya “tak masuk akal”.
Baju yang dia jual rata-rata harganya Rp300.000 ke atas. Angka segitu sudah termasuk ongkos konveksi, bahan, dan sewa toko.
Untuk diketahui harga sewa kios 2x2 meter di Tanah Abang Rp100 juta setahun. Belum lagi biaya service charge seperti listrik Rp1 juta per bulan.
Untung yang diambilnya dari satu potong baju antara 10%-15%. Sementara di toko online, pakaian yang serupa dijual kisaran harga Rp150.000-Rp200.000.
(Taufik Fajar)