Syara panggilan Syarariyah mengaku sudah sejak pertengahan tahun 1970-an membeli air bersih saat musim kemarau. Tapi di musim penghujan saat debit air Sungai Sepaku naik, keluarganya bisa menggunakan air sumur untuk dikonsumsi.
“Meskipun dulu kita pakai (air) sumur atau pakai sungai, nggak ada kita kesusahan air sama sekali. Soalnya air sumur sendiri bisa kita ambil, kita saring dulu, baru kita rebus,” katanya.
Namun, beberapa dekade terakhir air sumur dan sungai sudah tidak lagi bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. “Selalu kita beli. Beli air bersih untuk mandi, untuk masak,” katanya.
Menurut kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), secara geologi wilayah IKN tersusun dari batuan yang berumur sangat tua dan solid. Air yang menyerap ke tanah akan melalui banyak lapisan lempung, batubara serta gambut yang mempengaruhi kualitas air sumur.
Air tanah di IKN, dan wilayah gambut cenderung berkadar besi dan banyak ditemui sulfida, sehingga air berpotensi mengandung endapan pirit. Akibatnya, air tanah bersifat asam. Air yang mengandung pirit cenderung memiliki warna jingga hingga merah.
Oleh karena itu, air bersih menjadi barang berharga bagi Syara dan penduduk di sekitar IKN. Air bersih itu dibeli warga melalui saluran perusahaan air minum daerah, atau pedagang air.
Untuk memenuhi kebutuhan hariannya, Syara membeli air dari pedagang yang dikirim dari Desa Suka Raja berjarak 13 kilometer dari rumahnya. Satu hari, Syara membeli satu tandon air (sekitar 1.200 liter) dengan harga Rp100.000.
Kata dia, harga ini meningkat dua kali lipat setelah proyek IKN dimulai.
“Tahun 2019 itu masih harga Rp50.000. Ya, mentok itu kalau lagi kemarau ya Rp80.000. Sekarang mahal,” kata Suraya.
Ia juga mengaku tak bisa mengandalkan air tadah hujan untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Karena kita mau tampung air hujan saja di atap itu, debunya luar biasa,” katanya sambil mengeluhkan dampak pembangunan IKN yang membuat jalan berlumpur, dan ketika musim panas menerbangkan debu.
Sumber air IKN
Setidaknya ada tiga sumber air yang bisa digunakan di IKN: air tanah (air sumur galian atau bor), air permukaan (sungai, embung, danau, sumur resapan dan laut), serta air hujan yang ditampung dalam skala rumah tangga.
Badan Geologi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan karakteristik kesesuaian wilayah inti IKN “dalam kondisi sulit air”.
“Disarankan untuk menggunakan air permukaan atau alternatif lain,” kata Tatan Hidayat, Subkoordinator Pusat Tanah dan Geologi Tata Lingkungan di Badan Geologi
Kawasan inti IKN, kata Tatan, termasuk dalam “kesesuaian lahan sedang hingga tinggi”, sehingga pembangunan perkotaannya memerlukan biaya sedang hingga tinggi karena kebutuhan air agak sulit terpenuhi.
Anjuran menggunakan air permukaan sebagai air baku juga pernah diutarakan dosen fakultas sains dan teknologi Universitas Airlangga, Nurina Fitriani.
Ia mendorong IKN menjadi kota spons – kota yang dapat menampung dan mengelola air hujan sebagai air baku. “Yakni melalui pembangunan dan sumur resapan air,” katanya.
(Taufik Fajar)