Kebijakan HAP gula dapat diterapkan bila terjadi lonjakan harga secara anomali di pasaran. Bahkan, pemerintah bisa mengatasi persoalan harga yang terkerek naik ‘gila-gilaan’ dengan menyiapkan stok gula konsumsi.
Soemitro menyebut, kenaikan harga gula di tingkat konsumen terjadi karena ketersediaannya yang kurang, ditambah pemerintah tidak memiliki stok atau cadangan gula nasional.
Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah segera memiliki cadangan gula nasional melalui BUMN pangan, untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan harga gula ke depannya.
“Kalau toh terjadi anomali lonjakan harga, nah ini yang penting. Pemerintah harus memegang stok gula, jangan serahkan semuanya kepada pihak yang bukan atau di luar kendali pemerintah,” beber dia.
“Bahkan, BUMN kita itu kalau diberi izin impor atau izin membeli gula petani, jangan keburu langsung dijual. Apa bedanya BUMN dan badan usaha milik swasta? Kalau impor langsung jual. Kalau impor itu ditahan dulu, dipakai nanti sebagai senjata ketika nanti kenaikan harga gula di tingkat pasar,” jelasnya.
Soal harga jual, lanjut Soemitro, ongkos produksi di level petani masih di kisaran Rp14.900. Sementara harga pokok penjualan gula di kisaran Rp14.500 per Kg. Dengan kata lain, harga produksi gula masih tinggi dibandingkan dengan HPP.
“Apakah harga jual kita ini sudah cukup? Kalau kita bicara tentang kecukupan harga jual, ongkos produksi kita aja sebenarnya sekitar Rp14.900, sementara harga lelang kita, penjualan kita, kita dikasih HPP, saya protes jangan AHP, karena HPP itu harga terendah, kalau AHP itu bisa naik bisa turun, kalau turun tambah hancur kita, HPP kita sebetulnya sekarang ini Rp14.500, ini masih di bawah biaya produksi kita Rp14.900,” tuturnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)