JAKARTA - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri diperkirakan bakal terus membesar hingga bisa di atas 70.000 pegawai pada akhir tahun 2024.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI) Elly Rosita, menyebut sejak UU Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang bisa menyerap ribuan tenaga kerja.
"Jadi di mana lapangan pekerjaan yang pemerintah janjikan?" katanya.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK dari Januari hingga akhir Agustus mencapai 46.240 pekerja. Meski ada tren kenaikan, tapi Kemnaker berharap angka PHK tidak lebih tinggi dari tahun lalu yang mencapai 64.000.
Dua pekerja perempuan usia produktif yang baru-baru ini kena PHK oleh perusahaan startup di Jakarta bercerita mereka tak pernah menyangka terkena pemangkasan demi alasan efisiensi keuangan. Dan sekarang mereka harus bertahan dengan pesangon yang tak seberapa.
Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintahan presiden-wakil presiden terpilih Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka mengatasi persoalan ini? Apa strategi mereka menciptakan lapangan pekerjaan baru?
Kehilangan pekerjaan pasti bikin down
"Salah satu yang bikin saya kesal dan sesal dari PHK kemarin karena saya dikasih tahunya cuma dua minggu sebelum layoff (pemecatan)," tutur Olyvia, seorang pekerja perempuan usia produktif di Jakarta.
Olyvia nampaknya masih jengkel kalau bercerita tentang bagaimana dia di-PHK oleh perusahaan lamanya yang bergerak di industri kecantikan.
Ini karena pemberitahuan PHK oleh pihak manajemen disampaikan padanya H-14. Rentang waktu yang singkat begitu, menurut Olyvia, terlalu mendadak.
Ia mengaku tak punya persiapan cukup untuk mencari pekerjaan baru.
"Jadi banyak yang enggak enak di hati, cuti enggak bisa di-uangkan, enggak terima gaji penuh, dan belum prepare (menyiapkan) pekerjaan baru," ujarnya dilansir BBC News Indonesia.
"Bisa apa dong saya? Mikirin rencana berikutnya enggak bisa, kalaupun cari kerjaan baru enggak bisa sesingkat itu."
Olyvia sebetulnya sudah dua kali kena PHK. Pertama, pada 2022 oleh perusahaan startup atau platform pendidikan online. Dan terakhir pada Juli 2024. Waktu itu, dia bercerita dipanggil oleh atasannya untuk bicara empat mata. Di sana Olyvia diberi tahu bahwa perusahaan sedang melakukan efisiensi dan namanya masuk dalam daftar yang harus diberhentikan.
Mendengar penjelasan itu, ia hanya bisa diam. Mencoba mencerna apa yang disampaikan atasannya. Hingga akhirnya dia menandatangani surat pemutusan hubungan kerja tersebut.
"Orang-orang bilang PHK kedua harusnya lebih kuat persiapannya, tapi buat saya kondisi sekarang berbeda," ungkapnya kesal.
"Dulu pas di-PHK tahun 2022, support systemnya ada karena banyak yang bernasib sama... tapi sekarang saya ngerasa sendirian. Teman-teman dekat saya di kantor mengira saya resign, bukan kena PHK. Ketidakterbukaan ini yang saya sesali."
Selain dirinya, ada lima pekerja lain yang kena PHK. Tapi kekhawatiran bakal terjadi pemutusan hubungan kerja, sambung Olyvia, sebetulnya sudah tercium sejak akhir tahun 2023.
Saat itu, bonus tahunan yang biasanya diberikan dalam jumlah besar dipangkas setengah. Kemudian beberapa rekan kerjanya juga berhenti bekerja secara tiba-tiba tanpa penjelasan apakah mengundurkan diri atau diPHK.
"Saya jadi menaruh curiga kok banyak yang pamit, ini beneran resign atau kena layoff?" imbuhnya.
Soal pesangon, Olyvia hanya menerima sebanyak dua kali gaji ditambah upah yang dihitung secara proporsional.
Uang itu, katanya, akan disimpan kalau-kalau selama beberapa bulan ke depan belum mendapatkan pekerjaan baru. Yang pasti sekarang dia harus berhemat.
"Paling berasa itu nongkrong sama teman dikurangin, dulu kan kalau diajak selalu mau... terus uang bulanan yang dikasih ke orang tua juga pastinya enggak bisa sebesar dulu."
Nabila, pekerja perempuan usia produktif di Jakarta juga bernasib sama. Dia kena PHK oleh salah satu perusahaan startup e-commerce terbesar di Indonesia pada awal Agustus lalu karena alasan ingin mengubah arah bisnis.
"Saya masuk gelombang pertama yang kena PHK, tiga minggu kemudian gelombang kedua," ujar Nabila kepada BBC News Indonesia.
Di tim Nabila, total ada 14 orang yang diputus kerjanya. Namun, kata dia, yang namanya pemutusan kontrak atau PHK massal sudah berlangsung sejak akhir tahun 2022.
Melihat situasi begini, perempuan yang sedang mendaftar untuk posisi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) ini, berkata agak sedikit was-was tapi merasa pasrah kalau suatu hari mesti diberhentikan. Sebab fenomena serupa juga terjadi di startup lain, klaimnya.
"Jadi tiap bulan pasti ada silent layoff, diPHK tapi statusnya resign."
"Awalnya tahu kena PHK ya pengen tahu parameternya apa. Pas tahu bukan saya aja yang kena tapi semua editor, saya berasumsi mungkin perusahaan mau memperkecil tim aja."
Dua tahun bekerja, Nabila mengaku mendapatkan pesangon sebanyak tiga kali gaji. Hanya saja perusahaan membayar dengan mencicil selama empat bulan tanpa alasan yang jelas.
Pesangon pertama turun September ditambah upah di bulan terakhir kerja. Pesangon berikutnya di Oktober dan seterusnya sampai Desember. Meskipun dicicil, dia bilang tak keberatan asalkan pembayarannya lancar.
"Anggap aja kayak digaji perbulan. Secara keuangan belum berpengaruh sih, masih kayak biasa. Tapi sepertinya pengeluaran harus lebih ketat aja, kalau mau jalan-jalan atau makan di luar dikurangin," ujarnya.