Tidak ada pembangunan pabrik secara masif di zaman Jokowi
Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, sependapat. Ia memperkirakan angka PHK pada tahun ini bakal melampaui tahun sebelumnya. Ia menguraikan beberapa faktor mengapa sejumlah perusahaan gulung tikar atau memilih untuk menyimpan modalnya ketimbang membuka usaha baru.
Pertama, karena masih tingginya suku bunga yang berpengaruh terhadap tingkat biaya dana dan biaya modal.
"Kalau uang dinilai terlalu mahal untuk dijadikan modal usaha atau mengekspansi bisnis, maka itu sangat berdampak pada tingkat pekerjaan, pengangguran, dan PHK," jelas Andri.
"Intinya seberapa mahal satu rupiah digunakan untuk berinvestasi."
Sampai saat ini Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 6,25%. Adapun suku bunga deposit facility 5,50% dan suku bunga lending facility 7%. Mengutip siaran pers BI, keputusan ini konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stabilitas, yaitu untuk penguatan lebih lanjut stabilisasi nilai tukar rupiah. Faktor kedua, karena daya beli masyarakat yang turun.
Seperti diketahui sejumlah pengusaha tekstil dan garmen mengeluhkan sepinya pasar domestik gara-gara serbuan produk impor dari China. Sementara pasar global masih mandek akibat konflik geopolitik yang terjadi di Ukraina dan Rusia.
"Dulu pasar ekspor Indonesia adalah AS, Eropa, dan Jepang, tapi negara-negara itu juga mengalami masalah yang sama seperti kita akibat banjir produk China."
Faktor ketiga, UU Cipta Kerja. Pengamatannya sejak UU ini diberlakukan nyaris tidak ada lapangan kerja baru skala besar yang tercipta. Kalaupun ada, dari sektor padat modal sepeti tambang.
Yang terjadi justru, sebutnya, para pengusaha diuntungkan karena bisa menekan pengeluaran melalui keringanan membayar hak-hak pekerja dan bisa sesukanya mengontrak pekerja.
"Faktanya begitu, lapangan kerja yang dihasilkan dari UU Cipta Kerja sangat sedikit dibandingkan ketika investasi dijalankan dengan sesuai norma ketenagakerjaan sebelumnya."
"UU ini bahkan memudahkan PHK."
"Kalau pemerintah mengeklaim Penanaman Modal Asing (PMA) dalam lima tahun terakhir di lima besar, tapi uangnya tidak menetes ke masyarakat kecil atau ekonomi lokal."
Itu mengapa Andri menilai "tidak ada bisnis yang aman dari risiko PHK" saat ini.
Berkaca pada situasi tersebut, Andri menilai PHK akan terus membesar alias tak bisa dibendung. Apalagi jika pemerintah tak melakukan intervensi apapun pada tingkat suku bunga. Perhitungannya angka PHK bisa di atas 70.000 kasus pada akhir tahun 2024.
"Kalau Januari-Agustus saja sudah di atas 45.000, maka bisa saja terjadi kenaikan 20% dibanding PHK tahun lalu yang mencapai 64.000 kasus, jadi sangat bisa di atas 70.000 orang terkena PHK," ujarnya.
"Tapi andaikan suku bunga turun, cost of capital pasti akan dipertahankan, karena sudah di akhir-akhir tahun mereka (pengusaha) akan tetap memPHK massal."
Ekonom dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga menuturkan UU Cipta Kerja tidak ada gunanya karena tidak ada investasi yang masuk membawa penyerapan tenaga kerja yang besar.
Sektor industri, kata dia, porsinya terus menurun dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Dari 22% di tahun 2010-an awal, sekarang hanya 18% di era Presiden Jokowi.
"Praktis tidak ada pembangunan pabrik secara masif di zaman Jokowi. Malah yang jamak terjadi adalah PHK," bebernya.
Apa strategi pemerintahan Prabowo-Gibran atasi PHK?
Para pengamat ekonomi dan organisasi buruh menyebut masifnya PHK dan minimnya lapangan pekerjaan baru menjadi PR besar pemerintahan presiden-wakil presiden terpilih Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita, bahkan menantang presiden terpilih Prabowo harus bisa membuat gebrakan di isu ketengakerjaan. "Utamanya memastikan pekerjaan tersedia," ucap Elly.
Merespons persoalan ini, penasihat ekonomi tim Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengatakan untuk jangka pendek pemerintahan Prabowo sebutnya akan meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang bisa mengganggu konsumsi kelas menengah seperti misalnya penerapan PPN 12%.
Kemudian memperbanyak pelatihan untuk vocational skills bagi anak-anak muda. Baik untuk pekerjaan-pekerjaan mekanik, industri, hingga berbagai jasa. Terakhir, menggunakan standarisasi untuk peningkatan produktifitas tenaga kerja.
(Dani Jumadil Akhir)