Bahkan, kata Eka, jika flu atau batuk saja dia tetap memeriksakan diri memakai KIS. "Gratis dan dapet obat. Saat itu juga bisa pilih faskes 1 kalau kejauhan dari rumah," ujarnya.
Menyebut KIS sebagai ‘kartu ajiab’ bukanlah tanpa alasan. Sebab, kata Eka, untuk mendapatkan pengobatan dan fasilitas kesehatan, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jangankan untuk berobat, mendapatkan uang untuk makan saja susahnya bukan main. Apalagi, sang suami masih kerja serabutan sambil menjadi penjaga toko.
Upah suami sebesar Rp2 jutaan per bulan tentu saja tak cukup untuk pengobatan atau bahkan untuk kontrol kehamilan. Menurut Eka, dia dan keluarga sangat bergantung dengan kartu KIS untuk mendapatkan akses pengobatan dan kesehatannya selama ini.
Apalagi, Eka dan suami tak perlu mengeluarkan iuran apa pun setiap bulannya. "Bersyukur banget, karena memang terbantu sekali. Menurutku Kartu KIS ini kalau tepat sasaran, ya jadinya sangat membantu orang-orang miskin seperti kami ini," katanya.
Eka juga menceritakan pengalamannya saat pertama kali menggunakan KIS untuk melahirkan kedua buah hatinya yang kembar pada 2021.
Eka yang tinggal di rumah kontrakan dua petak di kawasan Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, lantas memilih kontrol kehamilannya di Puskesmas Rawa Buntu.
Saat momen kelahiran anaknya tiba, dia kemudian langsung dirujuk ke Rumah Sakit Pena 98 Gunung Sindur, Jawa Barat. Dari awal kontrol kehamilan hingga proses persalinan, Eka mengaku cukup dipermudah. Dia bahkan mendapat fasilitas ambulans yang mengantarnya ke rumah sakit rujukan.
"Karena waktu itu memang kondisinya sudah enggak memungkinkan dan bukaan hampir lengkap, jadi sampai dikasih fasilitas ambulans menuju rumah sakit rujukan," tuturnya.
Kedua buah hatinya yang kembar dan berjenis laki-laki itu lantas lahir dengan selamat dan sehat melalui proses persalinan secara caesar.
Dalam waktu dekat, Eka berencana kembali melakukan persalinan dengan memanfaatkan KIS, yang disebutnya kartu ajaib itu.