2. Daftar Pembelian Barang
Di TikTok, tagar #nobuychallenge telah digunakan hampir 50 juta kali. Warganet punya daftar pribadi beserta alasannya ketika ditantang kampanye "No Buy Challenge". Mereka membuat lima sampai 11 daftar barang yang tidak dibeli atau dikurangi selama 2025.
Alasannya beragam. Ada yang ingin mengalihkan pengeluaran pada tabungan, mendisiplinkan diri dalam belanja barang yang dibutuhkan, lebih ramah lingkungan, dan khawatir dengan ketidakpastian ekonomi di 2025.
Kampanye ini melawan arus, karena platform media sosial menjadi wadah iklan membombardir konsumen. Makanya, sebagian warganet juga memutuskan untuk tidak lagi mengikuti akun-akun toko online. Tapi apakah kampanye ini akan bertahan lama atau hanya resolusi semu akhir tahun?
"Ini kan tren kelas menengah saja yang dampaknya ke ekonomi dan industri kapitalisme belum ada buktinya," kata dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet.
Robet menilai gelombang kampanye "No Buy Challenge 2025" dilatarbelakangi sejumlah hal. Ini juga menjadi cermin aspek sosial, ekonomi dan psikologis masyarakat Indonesia.
Pertama, kampanye ini merupakan respons rasionalitas kelas menengah dengan kesadaran finansial, terutama setelah menguatnya ekonomi serabutan (gig economy). Ekonomi serabutan adalah sistem ekonomi yang sedang mendunia di mana pasar kerjanya adalah tenaga kerja lepas atau kontrak jangka pendek.
"Orang jadi lebih menekankan perhitungan pengeluaran finansial untuk berhemat karena menghadapi situasi kerja yang tak pasti," kata Robet.
Kedua, kampanye ini menjadi "kritik moderat" terhadap budaya konsumerisme. Ada kesadaran yang muncul di masyarakat terhadap krisis lingkungan. Gerakan ini bahkan sudah dimulai dengan model perusahaan garmen dan fesyen raksasa Patagonia. Dasar yang melatarbelakangi alasan ini adalah psikologis yaitu dorongan untuk mengendalikan diri.
Ketiga, kampanye "No Buy Challenge 2025" sebagai respons kelas menengah terhadap tekanan ekonomi. "Dalam konteks ekonomi yang makin sulit atau ketidakpastian finansial, tantangan ini bisa menjadi cara bagi individu untuk menghadapi tekanan ekonomi, seperti inflasi atau kenaikan biaya hidup," tandas Robet.
3. Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi 2025
Beberapa jam sebelum pergantian tahun baru, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Ketentuan ini mulai berlaku 1 Januari 2025. Sebelumnya, kenaikan PPN 12% menuai polemik karena menyasar barang kebutuhan sehari-hari.
Lembaga riset ekonomi Celios melakukan simulasi dampak kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% sebagai berikut:
• Beban pengeluaran kelompok rentan miskin bertambah Rp153.871/bulan
• Pengeluaran kelompok pekerja Gen Z bertambah Rp1,75 juta/tahun
• Konsumsi rumah tangga dapat tergerus Rp40,58 triliun
• Pengeluaran kelas menengah bertambah Rp354.293/bulan
Dalam keterangan terbaru, Presiden Prabowo mengeklaim bahwa kenaikan PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah. Misalnya jet pribadi, rumah mewah dan kapal pesiar.
"Untuk barang dan jasa selain tergolong mewah, tidak ada kenaikan PPN," katanya.
Kementerian Keuangan menindaklanjuti kebijakan ini dengan merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nmor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang tarif PPN 12% hanya dikenakan terhadap barang mewah. Daftar barang mewah yang diatur dalam beleid itu antara lain: kendaran bermotor mewah, hunian mewah, pesawat jet, kapal pesiar mewah, dan yacht.
Khusus untuk bahan-bahan pokok, pemerintah membebaskan tarif PPN. Sementara barang yang tidak dikategorikan mewah tetap dengan tarif PPN 11% Keterangan terbaru dari pemerintah mungkin bisa membuat publik menghela napas sejenak.
Namun, perekonomian 2025 masih dibayang-bayangi ketidakpastian karena sejumlah rencana kebijakan lain mungkin membebani masyarakat. Misalnya, rencana pengalihan subsidi BBM, asuransi wajib kendaraan bermotor, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan tarif KRL, dana pensiun tambahan, kenaikan uang kuliah tunggal (UKT), dan potongan iuran Tapera.