Viral No Buy Challenge di Tengah Ketidakpastian Ekonomi 2025

Dani Jumadil Akhir, Jurnalis
Kamis 02 Januari 2025 11:33 WIB
Viral No Buy Challenge (Foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Gelombang kampanye "No Buy Challenge 2025" melanda media sosial di pengujung 2024. Tagar #NoBuyChallenge telah digunakan hampir 50 juta kali di TikTok dan merambat ke media sosial lainnya.

Secara harfiah kampanye ini berarti tantangan agar seseorang tidak atau mengurangi belanja barang dan jasa selama setahun penuh pada 2025. Kampanye ini muncul di tengah sejumlah kebijakan pemerintah yang akan diterapkan pada 2025 dan disebut bisa 'mencetak orang miskin baru'. Seorang sosiolog menilai kampanye ini di antaranya merupakan respons kelas menengah terhadap "ekonomi yang makin sulit atau ketidakpastian finansial".


No Buy Challenge bukanlah kampanye unik yang baru karena pernah meletup di tahun-tahun pandemi. Di Indonesia, tantangan tidak membeli barang sudah jadi manifestasi gerakan gaya hidup minimalisme dengan pengikutnya mencapai ribuan orang.

1. Bijak dalam Berkonsumsi

Akun instagram @Casriani berada di antara orang-orang yang mengkampanyekan "No Buy Challenge 2025". Dalam salah satu unggahan akun milik Cempaka Asriani itu mengurai sembilan daftar barang yang tidak dibeli atau dikurangi selama 2025.
Barang-barang itu di antaranya cinderamata, air minum kemasan, kopi untuk dibawa pulang, dekorasi rumah musiman hingga produk wajah dan perawatan kulit.

"Makeup atau skincare sebelum habis nggak usah beli. Jadi benar-benar sampai empty (kosong). Benar-benar dibuka jar-nya, bersihin korek-korek, kalau habis baru beli lagi," kata Cempaka dilansir BBC Indonesia, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Dia mengatakan, kampanye "No Buy Challenge", sejalan dengan kampanye pribadinya selama ini, agar masyarakat "lebih bijak dalam berkonsumsi". Kampanye No Buy Challenge 2025 hanya momentum untuk mengutarakan kegelisahannya tentang konsumsi yang berlebihan.

Cempaka menyadari ketidakpastian ekonomi di 2025, dan sikap bijak dalam berbelanja lebih dari sekadar merespons hal itu: melepas diri dari perangkap hasutan iklan-iklan produk. "Ini masalah sudah ke mana-mana gitu loh, masalah ke mental health, karena semakin banyak kita punya barang enggak membuat kita makin bahagia. Jadi kita makin terperangkap akan banyaknya barang," katanya.

Cempaka mengaku satu dekade lalu dirinya sebagai shopaholic alias orang yang kecanduan belanja dan tak bisa mengendalikan diri membeli barang. Barang-barang yang dibeli terutama terkait dengan fesyen. Saat itu dirinya masih bekerja di sebuah media fesyen yang "menuntut" tampil trendy sesuai perkembangan zaman. Namun pada 2014, ia mengalami sakit lambung akut yang menurut diagnosis medis merupakan respons dari stres.


"Waktu itu salah satu metode penyembuhannya yang berhasil di aku adalah journaling (menuangkan perasaan dan emosi melalui tulisan). "Nah journaling itu… aku jadi kayak mensyukuri apa yang aku sudah punya," kata Cempaka.

Dengan menulis curahan hati dalam jurnal, ia menyadari keinginannya selama ini adalah terus berbelanja. Oleh karena itu, kontemplasi panjang membuatnya menyadari bahwa barang-barang yang dibeli selama ini berlebihan, cenderung tidak perlu.

Momen kedua yang mengubah pandangannya tentang berbelanja saat pindah di rumah pribadi. Ia menyadari ruangannya terbatas dan tak akan cukup menampung semua barang yang diinginkan.

"Ya sudah, jadi akhirnya enggak ingin punya barang banyak," kata perempuan yang masih bekerja sebagai jurnalis lepas bidang fesyen. Mulai saat itu ia mulai bersikap "bodo amat" dengan fesyen yang terus berubah, meskipun terkadang "jujur masih tergoda" membeli pakaian atau produk fesyen keluaran terbaru.

Namun, journaling kembali membuatnya menyadari berpegang prinsip membeli sesuatu yang dibutuhkan saja. "Jadi godaan walaupun ada, cuma lebih bisa direndam, karena aku bisa bilang most of the time (sebagian besar waktu), aku bisa bilang bahwa oke ini barang bagus, tapi enggak dulu," kata Cempaka.

Warganet lainnya, Fadiyah mengaku terpapar kampanye ini. Meskipun ia tidak membuat daftar barang-barang tidak dibeli pada 2025, tapi ketidakpastian ekonomi 2025 telah mengubah beberapa kebiasaannya. "Kalau aku emang sudah jarang jajan. Lebih sering masak sendiri. Kopi juga bikin sendiri gara-gara harga naik mulu," katanya.

 



2. Daftar Pembelian Barang

Di TikTok, tagar #nobuychallenge telah digunakan hampir 50 juta kali. Warganet punya daftar pribadi beserta alasannya ketika ditantang kampanye "No Buy Challenge". Mereka membuat lima sampai 11 daftar barang yang tidak dibeli atau dikurangi selama 2025.

Alasannya beragam. Ada yang ingin mengalihkan pengeluaran pada tabungan, mendisiplinkan diri dalam belanja barang yang dibutuhkan, lebih ramah lingkungan, dan khawatir dengan ketidakpastian ekonomi di 2025.


Kampanye ini melawan arus, karena platform media sosial menjadi wadah iklan membombardir konsumen. Makanya, sebagian warganet juga memutuskan untuk tidak lagi mengikuti akun-akun toko online. Tapi apakah kampanye ini akan bertahan lama atau hanya resolusi semu akhir tahun?

"Ini kan tren kelas menengah saja yang dampaknya ke ekonomi dan industri kapitalisme belum ada buktinya," kata dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet.

Robet menilai gelombang kampanye "No Buy Challenge 2025" dilatarbelakangi sejumlah hal. Ini juga menjadi cermin aspek sosial, ekonomi dan psikologis masyarakat Indonesia.

Pertama, kampanye ini merupakan respons rasionalitas kelas menengah dengan kesadaran finansial, terutama setelah menguatnya ekonomi serabutan (gig economy). Ekonomi serabutan adalah sistem ekonomi yang sedang mendunia di mana pasar kerjanya adalah tenaga kerja lepas atau kontrak jangka pendek.

"Orang jadi lebih menekankan perhitungan pengeluaran finansial untuk berhemat karena menghadapi situasi kerja yang tak pasti," kata Robet.

Kedua, kampanye ini menjadi "kritik moderat" terhadap budaya konsumerisme. Ada kesadaran yang muncul di masyarakat terhadap krisis lingkungan. Gerakan ini bahkan sudah dimulai dengan model perusahaan garmen dan fesyen raksasa Patagonia. Dasar yang melatarbelakangi alasan ini adalah psikologis yaitu dorongan untuk mengendalikan diri.

Ketiga, kampanye "No Buy Challenge 2025" sebagai respons kelas menengah terhadap tekanan ekonomi. "Dalam konteks ekonomi yang makin sulit atau ketidakpastian finansial, tantangan ini bisa menjadi cara bagi individu untuk menghadapi tekanan ekonomi, seperti inflasi atau kenaikan biaya hidup," tandas Robet.

3. Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi 2025

Beberapa jam sebelum pergantian tahun baru, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Ketentuan ini mulai berlaku 1 Januari 2025. Sebelumnya, kenaikan PPN 12% menuai polemik karena menyasar barang kebutuhan sehari-hari.
Lembaga riset ekonomi Celios melakukan simulasi dampak kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% sebagai berikut:
• Beban pengeluaran kelompok rentan miskin bertambah Rp153.871/bulan
• Pengeluaran kelompok pekerja Gen Z bertambah Rp1,75 juta/tahun
• Konsumsi rumah tangga dapat tergerus Rp40,58 triliun
• Pengeluaran kelas menengah bertambah Rp354.293/bulan

Dalam keterangan terbaru, Presiden Prabowo mengeklaim bahwa kenaikan PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah. Misalnya jet pribadi, rumah mewah dan kapal pesiar.
"Untuk barang dan jasa selain tergolong mewah, tidak ada kenaikan PPN," katanya.

Kementerian Keuangan menindaklanjuti kebijakan ini dengan merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nmor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang tarif PPN 12% hanya dikenakan terhadap barang mewah. Daftar barang mewah yang diatur dalam beleid itu antara lain: kendaran bermotor mewah, hunian mewah, pesawat jet, kapal pesiar mewah, dan yacht.

Khusus untuk bahan-bahan pokok, pemerintah membebaskan tarif PPN. Sementara barang yang tidak dikategorikan mewah tetap dengan tarif PPN 11% Keterangan terbaru dari pemerintah mungkin bisa membuat publik menghela napas sejenak.

Namun, perekonomian 2025 masih dibayang-bayangi ketidakpastian karena sejumlah rencana kebijakan lain mungkin membebani masyarakat. Misalnya, rencana pengalihan subsidi BBM, asuransi wajib kendaraan bermotor, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan tarif KRL, dana pensiun tambahan, kenaikan uang kuliah tunggal (UKT), dan potongan iuran Tapera.

 



4. Tolak Melawan Konsumsi Berlebih

Kembali pada kampanye "No Buy Challenge 2025". Kampanye ini bukan hal baru. Di Instagram, penggunaan tagar #nobuychallenge setidaknya diketahui sudah digunakan pada 2015. Tantangan ini tidak bersifat menyebar, tapi digunakan untuk kepentingan pribadi seperti karena terlilit utang.

Kemudian, saat pandemi Covid-19 pada 2019–2023 tagar kampanye ini digunakan lebih besar oleh warganet di luar negeri. Tujuannya penghematan di tengah kelesuan ekonomi.
Warganet memperjualbelikan pakaian bekas dan produk perawatan kulit yang tidak terpakai atau masih tersisa.

Dengan komitmen tidak membeli barang-barang tertentu, satu akun bahkan mengeklaim dapat menghemat pengeluaran sebesar 45%. Dari aspek ekonomi, tantangan ini dinilai masih relevan oleh sebagian orang karena tahun ini masih ada risiko gejolak perekonomian—meskipun pemerintah mengubah target PPN 12% pada barang dan jasa mewah.

Menurut pendiri komunitas Lyfe With Less, Cynthia Suci Lestari, kampanye "No Buy Challenge" punya arti lebih luas dari sekadar hidup irit atau menahan seseorang membeli produk tertentu. "No buy challenge itu sangat solutif untuk orang-orang biar nggak konsumsi barang yang mungkin sudah dia punya di rumahnya… bisa mendorong orang-orang memaksimalkan apa yang sudah dimilikinya," kata Cynthia.

Lyfe With Less adalah komunitas yang diklaim memiliki 7.000 anggota di saluran Telegram. Mereka menganut gaya hidup minimalisme—cara hidup dengan lebih sedikit harta benda dan lebih berfokus pada hal-hal penting. "Kami percaya bahwa minimalis lekat dengan keikhlasan, begitu dekat dengan rasa syukur dan kebahagiaan," tulis komunitas ini.

Komunitas ini memiliki sejumlah kampanye seperti Belajar Jadi Minimalis, Saling Silang, Pakai Sampai Habis, Pakai Sampai Rusak, dan Bijak Berkonsumsi. "No Buy Challenge" yang viral menjadi roket baru bagi komunitas ini untuk menjalankan misi kampanye mereka. "Makanya kita happy banget ketika di akhir tahun ada no buy challenge. Jadi orang mau ikutan karena mungkin mereka juga sudah merasa kalau selama ini kejebak konsumsi," kata Cynthia.

5. Perbedaan dengan Frugal Living


Cynthia Lestari menjelaskan gaya hidup minimalis berfokus pada kebahagiaan dan keseimbangan hidup dengan mengurangi barang-barang yang tidak perlu. Fokusnya lebih kerahkan pada hal-hal penting.

Sementara itu, frugal living atau gaya hidup hemat berfokus pada penghematan uang serta persiapan keuangan untuk masa depan. Sejatinya, kedua gaya hidup ini memiliki tujuan yang sama, yaitu hidup sederhana dan bermakna.

"Orang yang frugal itu kan pokoknya bagaimana caranya biar pengeluaran sedikit, sedangkan orang yang minimalisme itu gimana caranya biar barangnya itu sedikit," kata Cynthia yang juga bekerja sebagai pembicara publik.

Sebelum gagasan minimalis dikenal luas di Indonesia, Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Karlina Supelli, pernah mengutarakan kegelisahan atas konsumerisme di Indonesia. Ia memperhatikan perilaku masyarakat mengalami "kegagapan." Dari salah satu siasat kebudayaan yang ia tawarkan adalah agar masyarakat "Melatih hasrat belanja: belanja karena perlu bukan karena mau".

"Konsumerisme tidak akan berubah kalau orang tidak menyadari belanja itu mestinya dilakukan karena perlu, bukan karena kita mau," katanya satu dekade lalu. Selain itu, ia juga menekankan istilah yang dikenal dalam filsafat kuno yaitu keutamaan atau virtue.

"Yang membuat seseorang memiliki keutamaan itu bukan karena dia kemudian dia lahir dengan keutamaan." "Tetapi dia membiasakan dirinya setiap hari untuk bertindak dengan keutamaan, dan itu menjadi kebiasaan."

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya