JAKARTA - Penempatan saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun ke Bank Himbara dan Bank Syariah Indonesia menjadi sorotan. Bahkan kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bikin bingung para direktur utama bank-bank BUMN.
Bahkan, para dirut bank BUMN sudah mendapatkan peringatan untuk hati-hati terhadap penyaluran dana tersebut. Menkeu Purbaya menegaskan, penyaluran dana tersebut tidak boleh berujung pada meningkatnya kredit macet (Non-Performing Loan/NPL).
Berikut fakta-fakta menarik terkait penempatan Rp200 triliun ke bank Himbara dan ancaman pemecatan pada dirut bank BUMN jika tidak hati-hati, Minggu (21/9/2025).
Dana pemerintah yang disalurkan ke perbankan ini bukan berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). Dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ini disalurkan ke lima bank milik pemerintah, yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI).
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan para direktur utama (dirut) bank milik negara (BUMN) yang tergabung dalam Himbara untuk berhati-hati dalam menyalurkan kredit dari dana deposito pemerintah sebesar Rp200 triliun. Ia menegaskan, penyaluran dana tersebut tidak boleh berujung pada meningkatnya kredit macet (Non-Performing Loan/NPL).
Purbaya menyatakan, perbankan harus pintar untuk menakar potensi kredit macet. Ia bahkan menyebut dirut bank seharusnya dipecat jika membuat persentase kredit macet membengkak pascapenyaluran.
"Perbankan cukup pintar harusnya. Kalau mereka kasih pinjaman enggak hati-hati jadi NPL, ya harusnya mereka dipecat," kata Purbaya.
Ia menampik anggapan bahwa permintaan (demand) kredit tengah rendah saat dirinya memutuskan mengalihkan dana.
"Siapa bilang? Anda ada ekonom yang bilang begitu kan? Dia mesti belajar lagi ekonomi," seloroh Purbaya.
Lebih lanjut, Purbaya menjelaskan data empiris pengalaman pemerintah mengatasi pertumbuhan kredit yang rendah di tahun 2021.
Saat itu, kata Purbaya, banyak orang menyatakan bahwa kredit tidak bisa tumbuh sebelum ekonomi membaik.
Sebagai jalan keluar, pihaknya menyuntikkan dana segar pada sistem keuangan medio Mei 2021.
"(Hasilnya) Cukup signifikan, M0 (uang beredar) tumbuh double digit. Dalam waktu yang hampir bersamaan, kredit juga tumbuh. Teorinya begini, ini berhubungan dengan opportunity cost of money. Kalau opportunity cost of money turun, bunga turun, uang ada, orang yang punya uang jadi enggak sayang belanja lagi," jelas Purbaya.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, mencurigai adanya potensi pengelolaan SAL yang tidak optimal dan dapat menyamarkan praktik buruk.
"Masalahnya menjadi lebih kompleks jika ternyata dana SAL selama ini memang amat diandalkan untuk kebutuhan kas temporer pemerintah," ujar Awalil.
"Kemungkinan juga untuk membantu likuiditas beberapa BUMN dan Badan Hukum lainnya milik negara," imbuhnya.
(Taufik Fajar)