JAKARTA - Arah kebijakan pembiayaan sektor perbankan internasional terhadap industri berbasis Sumber Daya Alam (SDA) berubah. Ini terlihat dari aksi berbagai bank besar yang ramai-ramai memilih mundur dari keanggotaan Net-Zero Banking Alliance (NZBA), aliansi perbankan global yang berada di bawah payung Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
Sebelumnya, aliansi ini sempat digadang menjadi motor utama perbankan dalam mendukung target emisi nol bersih (net zero) pada 2050.
Aliansi yang pernah beranggotakan lebih dari 140 bank dengan aset USD74 triliun mulai goyah sejak akhir 2024, dipicu hasil pemilu AS dan tekanan politik Partai Republik terhadap apa yang disebut kapitalisme woke.
Awal 2025 menjadi titik balik. Melansir laporan Bloomberg yang dikutip Kamis (2/10/2025), enam bank besar AS, JPMorgan Chase, Citigroup, Bank of America, Morgan Stanley, Wells Fargo, dan Goldman Sachs, keluar beruntun. Kemudian disusul HSBC, Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG) dari Jepang serta Macquarie Group dari Australia juga memutuskan hengkang.
Di Indonesia, tuntutan agar perbankan menyetop pendanaan pada sektor pertambangan juga sempat disuarakan. Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap arahan Presiden Prabowo Subianto untuk tetap mendorong agar bank nasional ikut membiayai proyek-proyek hilirisasi pertambangan.
Meski bank-bank internasional mundur dari NZBA, mereka menyebut tetap berkomitmen pada target iklim tidak berubah, termasuk rencana mencapai emisi nol bersih untuk seluruh portofolio pinjaman dan investasinya pada 2050.
Macquarie Group menjadi bank Australia pertama yang keluar dari NZBA. Dalam keterangannya, Macquarie menyebut sudah memiliki “fondasi strategi dekarbonisasi” sejak 2022, sehingga tidak lagi membutuhkan kerangka kerja NZBA.
“Dengan fondasi tersebut, seperti banyak rekan kami, Macquarie tidak lagi menjadi anggota NZBA, karena kami fokus memperbarui dan melaksanakan rencana kami,” dikutip dari keterangan Macquarie Group.
NZBA dibentuk pada April 2021 dengan 43 anggota awal, dan sempat berkembang hingga lebih dari 140 bank dengan total aset mencapai USD74 triliu pada 2024. Anggota aliansi berkomitmen menyusun target berbasis sains, melaporkan emisi, termasuk yang dibiayai lewat kredit dan investasi, serta menyelaraskan bisnis dengan jalur 1,5°C.
Namun, semakin ketatnya aturan pelaporan dan standar pihak ketiga seperti Science Based Targets initiative (SBTi) membuat berbagai bank merasa terbebani.
Tekanan politik juga ikut mempercepat keluarnya sejumlah anggota. Di Amerika Serikat, para politisi Partai Republik yang dimotori Presiden Donald Trump gencar melancarkan kampanye anti-ESG dan memperingatkan lembaga keuangan soal potensi pelanggaran hukum jika tetap terlibat dalam aliansi iklim.
Situasi ini membuat bank-bank besar AS mulai mundur tak lama setelah Donald Trump memenangkan pemilu 2024. Langkah itu diikuti bank-bank Kanada pada Januari 2025, serta HSBC dari Inggris pada pertengahan 2025. Kini, dengan keluarnya SMFG di Jepang dan Macquarie di Australia, tren tersebut kian meluas ke Asia-Pasifik.
Langkah ini menuai kritik dari kelompok masyarakat sipil. Jeanne Martin, Co-Director Corporate Engagement ShareAction, menilai keputusan HSBC keluar dari NZBA “mengirimkan pesan kontraproduktif” di tengah meningkatnya risiko iklim.
Sementara itu, pihak bank beralasan tetap bisa menjalankan strategi iklim tanpa harus berada dalam aliansi multilateral. Mereka menilai pengelolaan internal dan tata kelola perusahaan cukup untuk menjaga komitmen dekarbonisasi.
Tren keluarnya sejumlah bank besar memperlihatkan tantangan serius bagi aliansi seperti NZBA. Jika sebelumnya koalisi global dianggap penting untuk menyatukan arah, kini strategi nol emisi lebih banyak ditentukan oleh kebijakan internal masing-masing institusi. Kondisi ini memberi fleksibilitas, tetapi juga menimbulkan risiko fragmentasi dan menurunkan kredibilitas komitmen global.
(Dani Jumadil Akhir)