“Negara tujuannya China. Kami melakukan pendalaman karena menemukan pola baru penghindaran pajak. Sebelumnya modus memakai POME diawasi, lalu bergeser ke fatty matter,” ujar Djaka.
Barang senilai Rp28,7 miliar tersebut semula dilaporkan sebagai fatty matter. Namun, hasil pemeriksaan laboratorium Bea Cukai dan IPB menunjukkan adanya kandungan produk turunan sawit yang seharusnya wajib dikenai pungutan ekspor.
Sedangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, sepanjang tahun 2025 terdapat 25 wajib pajak yang melaporkan ekspor fatty matter dengan nilai PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) mencapai Rp2,08 triliun. Pola manipulasi ini menimbulkan selisih mencolok antara data ekspor Indonesia dan data impor Cina, sebuah anomali yang dikenal sebagai mirror gap.
Kementerian Keuangan dan Polri menilai anomali ini sebagai bentuk shadow economy yang menggerus penerimaan negara. Pemerintah berkomitmen memperkuat pengawasan ekspor sawit melalui integrasi data lintas instansi dan pengawasan berbasis risiko untuk menekan kebocoran fiskal.
“Penegakan hukum dan koordinasi lintas lembaga terus diperkuat agar tidak ada lagi celah bagi pelaku usaha memanipulasi dokumen ekspor,” tegas Djaka.
(Taufik Fajar)