 
                JAKARTA - Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menyebabkan Bank Indonesia (BI) harus merogoh cadangan devisa untuk melakukan intervensi. Karenanya, langkah BI menahan suku bunga acuannya (BI rate) dinilai sudah tepat.
"Rupiah sedang tertekan cukup berat, hingga mendekati Rp9.200 per USD. Jika BI rate turun, BI akan keluar banyak ongkos untuk intervensi," tutur pengamat ekonomi Tony Prasetiantono melalui pesan singkatnya kepada okezone di Jakarta, Kamis (8/3/2012).
Selain itu, dia melihat ekspekatsi inflasi sudah cukup tinggi, seiring dengan kepastian pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). "Sekarang ini expected inflation sekira 6,0 persen, melebihi inflasi year on year (yoy) 3,6 persen," tambah dia.
Dia menambahkan, perekonomian global juga masih diombang-ambingkan oleh krisis zona euro. Meskipun, saat ini Yunani sudah di-bailout, namun masih ada negara zona euro yang bermasalah seperti Spanyol dan Portugal.
"Akibatnya, modal asing portofolio di Indonesia volatile, bisa sewaktu-waktu kabur. Karena itu amat riskan menurunkan BI rate di saat situasi global tak menentu. Lebih aman BI rate ditahan. Jadi, kebijakan BI ini justified. Argumentasinya kuat," tgas dia.
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur BI menetapkan suku bunga acuan alias BI Rate tetap dipertahankan pada kisaran 5,75 persen.
Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan tekanan inflasi dari sisi fundamental yang masih terkendali ke depan serta tetap kondusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari dampak penurunan kinerja perekonomian dunia.
Menyoroti rencana kebijakan Pemerintah di bidang energi, yakni kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), BI memperkirakan dampaknya pada inflasi bersifat temporer (one-time shock) dan inflasi akan kembali menurun sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian. 
Sejalan dengan itu, BI akan mengambil langkah kebijakan yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak inflasi jangka pendek tersebut melalui penguatan operasi moneter untuk mengendalikan ekses likuiditas jangka pendek, dengan tetap menjaga konsistensi kebijakan suku bunga dengan prakiraan makroekonomi ke depan.
(Martin Bagya Kertiyasa)