JUMLAH penduduk China yang mencapai lebih dari 1,4 miliar merupakan ladang bisnis yang sangat potensial. Berbagai perusahaan berbasis teknologi menggarap potensi tersebut untuk meraih keuntungan.
Tidak terkecuali penyedia jasa layanan transportasi online Didi Chuxing. Saking potensialnya, banyak perusahaan ternama berinvestasi di perusahaan yang baru berdiri pada 2012 itu, seperti Apple, Tencent, Alibaba, dan Baidu.
Nama Didi Chuxing berawal dari aksi peleburan antara Didi Kuaidi dengan Uber China pada 1 Agustus 2016. Aksi ini boleh dibilang langkah menyerah Uber yang tidak kuat bersaing dengan Didi di China. Akibat aksi korporasi tersebut, nama Didi Chuxing melambung di dunia. Tercatat Didi Chuxing sudah hadir 400 di China dan melayani 14 juta perjalanan per hari.
Sebanyak 11 miliar perjalanan di antaranya menggunakan mobil pribadi Kebesaran nama Didi tidak terlepas dari pendirinya Cheng Wei. Pada 2012, Cheng melepas jabatannya dari unit bisnis keuangan Alibaba, yaitu Alipay, setelah bertahun-tahun bergabung. Dia mendirikan Orang Technology dan merilis layanan Didi Dache yang dalam bahasa Mandarin berarti ‘Beep Beep Taksi’ untuk membantu konsumen memesan taksi segera atau sesuai waktu yang diinginkan lewat smartphone .
“Saya masih ingat masa itu saya dan beberapa teman harus berjuang menembus musim dingin dan meminta para sopir taksi menandatangani kerja sama. Sulit memperoleh angka pengguna, baik dari driver maupun konsumen hingga akhirnya ketika badai salju pada akhir 2012, orang enggan menunggu taksi di pinggir jalan, mendadak hari itu kami memperoleh 1.000 pesanan lebih dan saat itu kami mulai dilirik investor,” katanya.
Sejak saat itu, Didi Dache memiliki kompetitor serupa bernama Kuaidi Dache. Di sini, persaingan yang menguras tenaga dan dana mulai terjadi. Cheng saat itu mempunyai dukungan dari Tencent dan Kuaidi Dache di belakangnya dibantu Alibaba. Dua raksasa internet China tersebut tampaknya sudah melihat masa depan layanan transportasi berbasis aplikasi rumahnya sendiri.
“Tencent yang saat itu berfokus pada electronic payment terintegrasi dengan aplikasi messenger mereka, WeChat, melihat bahwa bisnis kami bisa jadi sumber transaksi. Prinsip ini kemudian hingga saat ini kami masih terapkan, di mana pun bidang yang bisa berkontribusi terhadap layanan transportasi kami, maka akan terus kami kembangkan,” ujar Cheng.
Sejak saat itu, perang tarif, diskon, penambahan penghasilan sopir taksi yang bermitra, serta aksi “bakar uang” terjadi untuk memenangkan hati sopir taksi dan konsumen. Pada 2015, Kuaidi Dache melakukan merger dengan Didi Dache sebagai pemenang dan pemilik separuh market share di China saat itu. Namanya pun berubah menjadi Didi Kuaidi.
Uber yang membuka unit bisnis bernama Uber China pada 2013 tampak kian agresif. Apalagi, Uber didukung raksasa internet China, Baidu. Akhirnya lahan transportasi berbasis online di China pun jadi ajang pertaruhan dan “bakar uang” oleh ketiga raksasa internet China, yaitu Alibaba, Tencent, dan Baidu.
“Bergabungnya dua layanan lokal untuk menghadapi Uber karena kami merasa harus jadi yang menguasai rumah kami sendiri. Investor kami pun khawatir bahwa baik Didi Dache maupun Kuaidi Dache justru sibuk saling pukul satu sama lain,” ungkap Cheng. Beruntung bagi Cheng saat itu berhasil menarik rekannya, Jean Liu atau Liu Qing yang menjadi managing director di perusahaan finansial multinasional Goldman Sachs Asia juga anak dari pendiri merek Lenovo.
Jean Liu bisa dibilang paling banyak berjasa karena tiga kali pendanaan terbesar di dunia yang diterima Didi Chuxing merupakan hasil kerja kerasnya. Persaingan terus berlanjut seperti biasanya dengan kegiatan “bakar uang” mulai dari perang tarif, promosi, dan insentif bagi sopir yang bermitra. Namun pada 2016, pihak Uber mengakui kekalahannya karena tidak mampu lagi terus merugi dengan kegiatan bakar uang.
Uber China mengaku kalah karena telah merugi sebesar USD1 miliar meskipun Didi Kuaidi saat itu tentu saja pasti lebih merugi, meskipun keduanya sama-sama mendapatkan pendanaan. Tidak bisa dimungkiri bahwa Didi Kuaidi tidak mendapatkan pendanaan yang lebih besar dibandingkan Uber. Namun, moral Uber bisa dikatakan jatuh ketika Jean Liu berhasil bertemu dengan CEO Apple, Tim Cook, dan membujuknya berinvestasi ke layanan transportasi berbasis online asal China tersebut.
Akhirnya pada Agustus 2016, Uber China dibeli oleh Didi Kuaidi yang kemudian melebur menjadi satu bernama Didi Chuxing. Hasilnya, raksasa layanan transportasi online itu dijaga oleh tiga raksasa internet China, yaitu Tencent, Baidu, dan Alibaba. “Sejak awal kami memang selalu membakar uang, tetapi tanpa melakukan tersebut, maka kami tidak akan bisa bertahan hingga saat ini,” ujarnya.
“Kami menganggap ini adalah cara kami membangun pasar, membangun konsumen maupun mitra kami agar menggunakan layanan kami. Tentu usaha ini membutuhkan waktu tidak singkat,” ungkap Jean Liu yang kemudian semakin sering tampil karena ditunjuk Cheng sebagai Presiden Didi Chuxing.
Cheng sendiri mengakui persaingan dengan Uber sangat keras. Ia menganggap Uber adalah kompetitor terbaik. “Kami berbeda dengan Uber, kami menciptakan sebuah ekosistem. Kami ingin agar masyarakat China bisa bepergian ke mana pun tanpa memiliki kendaraan,” tutur Cheng.
Pendanaan Besar
Kemenangan Didi atas Uber tidak terlepas dari pendanaan yang diperolehnya. Dengan China sebagai pasar yang menjanjikan, Didi menarik perhatian banyak investor. Jika pada 2015 Didi berhasil mendapatkan suntikan dana sebesar USD3,5 miliar, pada 2016, jumlahnya meningkat menjadi USD4,5 miliar.
Hal ini masih menjadi yang terbesar di dunia. Bloomberg pun beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa Didi menjadi startup teknologi dengan valas terbesar di China. Bahkan, Didi kembali mendapatkan pendanaan terbesar di dunia lagi pada April 2017 dengan memperoleh pendanaan sebesar USD5,5 miliar. Seluruh pendanaan besar tersebut diperoleh dari berbagai bank, bahkan tiga raksasa teknologi China berada di baliknya, yaitu Tencent, Alibaba, dan Baidu.
Hal yang membuat belahan dunia barat terkejut adalah Apple juga melakukan investasi ke Didi Chuxing. “Kami seperti tentara rakyat China yang berjuang dengan senjata senapan biasa sedangkan kami diserang dengan pesawat terbang dan misil,” ujar Cheng saat diwawancara Bloomberg mengenai persaingannya dengan Uber di negaranya sendiri.
Sosok Cheng oleh banyak orang dianggap sangat patriotik. Sebab, dia konsisten membesarkan Didi Chuxing di rumahnya, China, dibandingkan berekspansi ke negara lain. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Cheng menegaskan perusahaan teknologi lokal harus besar di negaranya sendiri.
(kmj)
(Rani Hardjanti)