JAKARTA - Sampah elektronik mencapai rekor 45 juta ton di penjuru dunia pada 2016. Sampah itu mengandung logam berharga yang disia-siakan, mulai dari emas dan tembaga.
Itu terjadi karena sampah elektronik mulai dari televisi, telepon seluler, dan produk lainnya tidak seluruhnya didaur ulang. Hasil studi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) ini sangat mengejutkan. Naiknya pendapatan masyarakat dan turunnya harga-harga produk elektronik mulai dari panel surya hingga lemari es.
Kondisi itu membuat sampah elektronik semakin menggunung. Steker atau baterai saja sudah 8% dari total 41 juta ton sampah elektronik pada 2014.
“Bobot sampah elektronik pada 2016 diperkirakan sekitar 4.500 kali Menara Eiffel di Paris,” papar hasil studi gabungan UN University, International Telecommunication Union, dan International Solid Waste Association, dikutip Kantor Berita Reuters.
Baca Juga: Cari Sampah Plastik Banyak, Menteri PUPR: 1 Km Butuh 3 Ton Kresek
Bahan mentah sampah elektronik pada 2016 diperkirakan bernilai USD64,6 miliar atau setara Rp872,10 triliun (kurs Rp13.500 per USD), termasuk logam berharga seperti emas, perak, tembaga, platinum, dan palladium. Sayangnya, hanya 8,9 juta ton dari sampah elektronik itu yang tercatat telah dikumpulkan dan didaur ulang pada 2016.
Sebagian besar sampah elektronik itu berakhir sebagai sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) meskipun proses daur ulang dapat memiliki nilai ekonomi yang besar. “Ini masih mengejutkan. Hanya 20% sampah elektronik yang dikumpulkan dan didaur ulang,” kata Ruediger Kuehr, Kepala Program Siklus Berkelanjutan UN University.
Secara keseluruhan, sampah elektronik akan mencapai 52,2 juta ton pada 2021. China menjadi sumber terbesar sampah elektronik sebesar 7,2 juta ton pada 2016, melebihi Amerika Serikat (AS). Laporan menyatakan, banyak orang membuang gadget lama karena ingin memiliki model terbaru atau biaya perbaikan lebih mahal dibandingkan membeli produk baru.
“Ada banyak debat dan kritik tentang semakin banyaknya masyarakat yang lebih suka membuang sebagai karakter dari konsumerisme dan tren membuang dan membeli yang baru daripada merawat dan memperbaiki,” ungkap laporan tersebut.
Baca Juga: Ini Keunggulan Sampah Plastik untuk Aspal, Salah Satunya Anti Air
Kuehr menjelaskan, rendahnya tingkat pengumpulan dan daur ulang sampah elektronik sangat mengejut kan karena 67 negara atau sekitar dua per tiga populasi dunia memiliki aturan tentang pengolahan sampah elektronik. Australia dan Selandia Baru me miliki jumlah sampah elektronik ter tinggi sebanyak 17,3 kg perorang.
Meski demikian, hanya 6% yang dikum pulkan dan didaur ulang. Eropa memiliki tingkat pengumpulan sampah elektronik tertinggi sebesar 35%. Kuehr mendorong para konsumen untuk memiliki produk dengan kode dapat didaur ulang saat membeli pro duk.
“Saat musim belanja Natal, lebih banyak peralatan diproduksi dengan steker atau baterai sehingga sampah elektronik semakin menggunung,” tandasnya. (Syarifudin)
(Dani Jumadil Akhir)