JAKARTA - Tiga alumnus Telkom University Bandung, Utari Octavianty, Indraka Fadhlillah, dan Farid Naufal Aslam, membuat perusahaan rintisan (startup) untuk meningkatkan distribusi hasil tangkapan nelayan. Startup yang dinamai Aruna ini dirintis sejak 2015 dengan hanya bermodal Rp10 juta hasil menang kompetisi business plan di Universitas Negeri Padang.
“Cita-cita kami sesimpel menghubungkan nelayan ke pembeli. Jualan sekilo dua kilo ikan. Tapi ternyata dalam prosesnya enggak segampang itu,” kata Utari.
Situs Aruna.id kembali berkembang setelah berhasil masuk program Inkubasi Bisnis Teknologi yang digelar Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Ketiganya kemudian mengajar nelayan di pesisir luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Maluku hingga Papua.
Kini mereka telah menjalin kerja sama dengan 55 koperasi, 1.700 nelayan, dan memiliki 6 gudang pendingin dengan omzet antara Rp200 juta hingga Rp500 juta per bulan tergantung musim. Jualan mereka tidak hanya ikan seperti tuna, tongkol, dan cakalang, tetapi juga rajungan, kerang dan lobster.
“Visi besar Aruna ialah kita lihat unique value proposition dari tiap negara. China negara manufaktur, mereka punya Alibaba, Thailand andalkan pari wisata dengan memiliki Agoda. Kita mau Indonesia negara maritim yang punya startup yang bisa berkembang besar dan jadi perusahaan global,” kata Utari.
Saat mereka berkeliling menawarkan kerja sama, penolakan dari nelayan selalu mereka terima. Dari cemoohan hingga mobil digebrak-gebrak oleh tengkulak pernah dirasakan. Pengalaman tak mengenak kan ini pun membuka mata mereka bahwa pendekatan kepada nelayan tidak bisa cepat. Mereka akhirnya merekrut petugas lapangan hingga tokoh setempat setempat untuk sosialisasi hingga mengajari cara menggunakan gawai untuk memakai aplikasi Aruna.
“Jagoannya Aruna itu ya petugas lapangan. Mereka kita suruh tinggal disana sampai bisa menguasai hati nelayan,” katanya.
Aruna tidak hanya sebagai e-commerce hasil laut namun juga memiliki big data karena menyuplai data tangkapan hasil laut secara realtime dari nelayan. Utari menerangkan, ada tiga aplikasi yang dibuat. Aplikasi pertama untuk nelayan yang habis merapat kepelabuhan langsung bisa mengupdate berapa tangkapan yang mereka jaring dan jenis apa saja.
Data dari nelayan ini masuk ke aplikasi kedua yang bisa diakses pemerintah dan perusahaan swasta yang memerlukan data tangkapan hasil laut. Aplikasi ketiga dinamakan pasarlaut.com, yakni sebagai tempat jual beli hasil laut yang telah didata tersebut.
Dengan pola business to business (B to B), perusahaan pemesan harus tanda tangan kontrak dulu, lalu dilakukan pemesanan ke nelayan untuk memenuhi kuota dan transaksi. Konsumennya sudah merambah ke mancanegara seperti Vietnam, Singapura, Malaysia dan kini hendak masuk ke Jepang.
“Sistemnya pesan dulu. Lalu kita kontak nelayan (apakah) bisa penuhi kuota atau tidak lalu baru transaksi,” jelasnya.
Adapun cara pembayarannya selalu ke nelayan terlebih dahulu. “Karena selama ini masalah nelayan kan selalu diutangi lama. Kita tak mau ulangi itu. Kalaupun pembeli lama bayar kita harus talangi dulu tiap harinya. Kita bayar di muka,” ungkapnya.
Utari menuturkan, bedanya perusahaan mereka dengan usaha lain ialah mer ka tidak memiliki kapal atau gudang besar. Mereka berpartner dengan nelayan dan komunitasnya yang sudah ada di daerah untuk memaksimalkan suplai hasil perikanan.
“Hasilnya, kita bisa meningkatkan harga di nelayan sampai 20% dan dari harga pembeli kita bisa turunkan harga hingga 10%. Kalaupun tidak bisa turun, harga kita akan jamin ketersediaan suplai sehingga suplai stabil dan nelayan dapat harga tinggi,” katanya.
Menurut Utari, harus ada perubahan total dalam sistem kelautan dan perikanan agar lebih menguntungkan nelayan. Pasalnya, meski nelayan yang berjuang melawan ganasnya laut, di tingkat mereka harga hasil laut yang dijual tak seberapa.
Dia mengungkapkan, harga ikan cakalang di tingkat nelayan Rp15.000 tapi kalau sudah di pasaran harganya Rp26.000. Yang lebih parah itu harga ikan kakap merah dari harga nelayan Indonesia Rp25.000 tapi kalau sudah sampai China harganya bisa menjadi Rp250.000. Karena kondisi ini, kata dia, tidak meng - he rankan meski 70% Negara Indonesia adalah lautan namun keluarganya dan keluarga nelayan kecil lainnya hanya ber - peng ha silan rata-rata Rp1,1 juta. Bahkan, ujarnya, karena tidak mampu terbebas dari jaring kemiskinan jumlah nelayan dalam 10 tahun terakhir berkurang 50%.
(neneng zubaidah)
(yau)
(Rani Hardjanti)