JAKARTA – Pemerintah menyebut produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada periode 2010- 2017 produksi minyak mengalami penurunan sebesar 15% sedangkan untuk gas turun rata-rata sebesar 14%.
Pada 2010 produksi minyak berada di rata-rata 945.000 barel per hari. Namun, produksi ini merosot pada tahun berikutnya menjadi 902.000 bph hingga akhirnya pada 2017 menjadi 801.000 bph. Untuk saat ini rata-rata produksi migas juga semakin menurun berada di angka 773.000 bph. Sementara untuk gas pada 2010 mencapai 8.857 MMSCFD kemudian saat ini rata-rata sebesar 7.756 MMSCFD.
“Jika tidak ada upaya menaikkan, maka produksi akan terus menurun. Dalam kurun waktu 2010-2017 penurunan produksi minyak mencapai 15% sedangkan gas 14%,” ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Gedung Parlemen, Jakarta.

Menurut Djoko, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi turunnya produksi migas. Pertama, kata dia, terkait lapangan migas yang sudah menua sehingga terjadi penurunan secara alamiah.
Sementara faktor lain, yaitu terkait gejolak ekonomi global sehingga berdampak pada lesunya investasi hulu migas. Tak hanya itu, regulasi juga masih menjadi hambatan investasi migas.
“Regulasi misalnya terkait pemanfaatan lahan dan harus diselesaikan dengan Kementerian KLH,” ujarnya.
Dia mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi migas nasional. Upaya yang dilakukan antara lain, open data, mempermudah skema lelang, percepatan perencanaan, dan menerapkan mekanisme gross split.
“Upaya-upaya itu dilakukan untuk meningkatkan produksi. Tapi memangkan dikuras terus jadinya habis, sebab itu perlu investasi untuk menemukan cadangan baru,” katanya.
Wakil Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Sukandar mengatakan, sampai 2030 produksi siap jual (lifting) minyak akan terus menurun.

Menurut dia, pada tahun itu lifting minyak diproyeksikan hanya mencapai 520.000 bph. Adapun perhitungan tersebut sudah menerapkan teknologi Enhance Oil Recovery (EOR) guna menjaga produksi sumur-sumur tua. Pihaknya merinci pada 2024 lifting minyak di bawah 600.000 bph atau berada di kisaran 531.000 bph.
“Sedangkan pada 2025 lifting minyak diproyeksikan berada di kisaran 494.000 bph. Jika tidak dengan EOR, produksi minyak pada 2030 bisa turun 281.000 bph,” ujarnya.
Berdasarkan data SKK Migas per 31 Juli 2018, lifting minyak mencapai 770.000 bph dari target Anggaran Penda patan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 800.000 bph.
Sedangkan untuk lifting gas sebesar 1,1 juta barel setara minyak. Dengan produksi di bawah target itu, maka penerimaan migas diprediksi turun dari target, yaitu sebesar USD11,7 miliar dari USD4,2 miliar. (Nanang Wijayanto)
(Dani Jumadil Akhir)