JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Dalam beleid tersebut, poin yang menjadi sorotan sejumlah pihak adalah soal investasi miras.
Keputusan ini diambil Jokowi setelah menerima masukan dari berbagai pihak. Mulai dari ormas keagamaan hingga pemerintah daerah.
Aturan tersebut tertuang dalam Pada Pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tersebut bidang-bidang yang dibuka untuk investasi terdiri dari bidang usaha prioritas, bidang usaha yang dialokasikan atau kemitraan dengan Koperasi-UMKM, dan bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Pada lampiran III Perpres investasi miras ini, ada 5 daftar bidang usaha yang bergerak pada komoditas miras.
Baca Juga: Asal Usul Munculnya Aturan Investasi Miras
Ada sejumlah fakta menari dibalik pencabutan aturan investasi miras ini. Berikut Okezone merangkumnya pada Minggu (7/3/2021).
1. Alasan Jokowi
Keputusan ini diambil Jokowi setelah menerima masukan dari berbagai pihak. Mulai dari ormas keagamaan hingga pemerintah daerah.
“Menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama yang lain. Dan jug masukan-masukan dari provisni dan daerah,” kata Jokowi.
2. Kepala BKPM: Bukti Jokowi Sangat Demokratis
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, dicabutnya lampiran ketiga dalam Perpres Nomor 10 tahun 2021 tentang Minol ini membuktikan jika Presiden Joko Widodo merupakan pemimpin yang demokratis. Karena Presiden Jokowi masih mau mendengar masukan dari masyarakat selama bersifat konstruktif.
"Ini adalah sebuah bukti dan pertanda bahwa Presiden sangat demokratis sangat mendengar masukan-masukan yang konstruktif untuk kebaikan bangsa," ujarnya
3. Jokowi Disebut Pemimpin yang Mendengarkan Masukan
Bahlil juga menyebut jika Presiden Joko Widodo bisa menjadi contoh dalam konteks pengambilan keputusan. Karena keputusan yang diambil ini berdasarkan masukan-masukan yang konstruktif dari berbagai kelompok agama dan kepemudaan.
4. Dunia Usaha Diminta untuk Pengertiannya
Bahlil juga meminta pengertian dari dunia usaha yang menginginkan agar Perpres ini dilanjutkan. Menurutnya, pemerintah harus tetap mengutamakan kepentingan negara yang lebih besar dalam kasus ini.
5. Sudah Eksis sejak 1931
Perizinan investasi miras di Indonesia bukan hal baru. Karena pemberian izin ini sudah berlangsung sejak lama. Menurut Bahlil, perizinan tentang miras atau minuman beralkohol (minol) tidak hanya terjadi pada periode ini. Sebab, investasi mengenai minuman beralkohol sudah terjadi sejak era sebelum kemerdekaan tepatnya 1931.
BKPM mencatat, sampai saat ini sudah ada 109 izin investasi miras yang dikeluarkan. Izin yang diberikan tersebut bahkan terjadi di 13 Provinsi di Indonesia.
6. Kepercayaan Dunia Usaha Masih Baik
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, kepercayaan dunia usaha kepada pemerintah masih sangat baik. Dirinya pun yakin jika pemerintah dengan dunia usaha masih bisa menjalin kerjasama yang sangat baik.
Lagi pula lanjut Bahlil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal tetap berlaku. Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya mencabut lampiran ketiga regulasi tersebut yang berkaitan dengan izin investasi miras atau minuman beralkohol.
Aturan tersebut tertuang dalam Pada Pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tersebut bidang-bidang yang dibuka untuk investasi terdiri dari bidang usaha prioritas, bidang usaha yang dialokasikan atau kemitraan dengan Koperasi-UMKM, dan bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Pada lampiran III Perpres investasi miras ini, ada 5 daftar bidang usaha yang bergerak pada komoditas miras.
"Semuanya berlaku. Perpres ini tetap berlaku, terkecuali lampiran di bagian ketiga nomor 31, 32, 33, karena itu berbicara minuman alkohol," jelasnya.
7. Jangan Umbar Investasi
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengaku tidak kaget dengan dicabutnya kembali aturan ini. Artinya, pencabutan ini bukanlah suatu prestasi atau keberhasilan dari pemerintah.
Menurut Bhima, pembuatan regulasi mengenai investasi ini tanpa melalui kajian yang komperhensif. Sehingga akan menjadi hal yang aneh jika aturan ini tetap dijalankan.
Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah juga diminta untuk tidak mengobral investasi yang memiliki kualitas rendah. Sebab menurutnya, saat ini masih banyak investasi yang memiliki kualitas bagus yang bisa berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja dan kesehatan.
“Selanjutnya pemerintah jangan gampang obral investasi tapi kualitasnya rendah. Masih banyak kan investasi yang lebih berkualitas, berdampak positif ke kesehatan maupun lingkungan dan menyerap tenaga kerja,” jelasnya.
(Dani Jumadil Akhir)