JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merasa bersyukur karena kasus aktif Covid-19 mulai melandai. Kendati demikian, dia mengingatkan agar tidak terlena karena pandemi ini masih belum usai.
"Kita tidak boleh terlena, meski kasus menurun, masih ada risiko munculnya varian baru. Vaksinasi menjadi instrumen utama untuk transisi pandemi ke endemi," ujar Sri dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Kamis(19/5/2022).
Namun, kata Sri, telah muncul risiko baru, tekanan inflasi dan lonjakan harga komoditas, yang kemudian diperparah dengan adanya perang Rusia-Ukraina. Risiko tekanan inflasi, sudah muncul sejak tahun 2021, karena pemulihan ekonomi dunia tidak berjalan secara merata. Kecepatan dari pemulihan sisi demand jauh lebih cepat dibandingkan respon dari sisi supply.
Baca Juga:Â Daya Beli Masyarakat Turun, Sri Mulyani Waspadai Naiknya Harga Komoditas
"Demand meningkat karena suku bunga menurun, likuiditas melimpah, fiscal policy-nya ekspansif, dan ini kemudian mendorong permintaan di berbagai negara, terutama dengan pandemi yang mulai bisa dikontrol. Namun, sisi supply tidak berjalan secepat permintaan tersebut," ungkap Sri.
Sambung dia menjelaskan, pent-up demand tiba-tiba meledak, sisi supply-nya tidak muncul, baik karena adanya beberapa daerah atau negara-negara produsen menghadapi Covid-19, maupun karena pemulihan sisi tenaga kerja maupun distribusi tidak berjalan secara cepat dibandingkan dengan pemulihan sisi demand.
Baca Juga:Â Tingkatkan Peluang Kerja Sama, Menko Airlangga Bertemu dengan Menkeu Singapura
"Sehingga, harga memang naik. Tadinya, para pembuat kebijakan terutama di sisi moneter menganggap inflasi ini temporer, temporernya karena demand cepat, supply-nya tertinggal sebentar. Namun diharapkan supply-nya akan segera mengejar. Makanya seluruh dunia kebijakan moneternya tertinggal, atau tidak merespon dengan langsung menaikkan suku bunga tahun lalu," papar Sri.
Namun, terjadinya perang di Ukraina menambah risiko terhadap pasokan energi dan pangan, dan terjadinya sanksi ekonomi menyebabkan disrupsi sisi supply itu menjadi tidak temporer tetapi justru permanen.
Dalam posisi supply yang stuck, tetapi demand-nya sudah naik tinggi, maka respon kebijakan moneter di 2022 berbagai negara cenderung menjadi lebih ketat dan cepat.
Follow Berita Okezone di Google News