JAKARTA - Pemerintah sudah memberikan sinyal untuk kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) karena dianggap sangat membebankan APBN.
Bahkan akumulasi hitungan subsidi energi mencapai kurang lebih Rp502,4 triliun menjadi alasan untuk pentingnya menaikan harga BBM saat ini.
Padahal menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira akumulasi nilai subsidi tersebut terdiri dari dana kompensasi PLN Pertamina, dana subsidi LPG3 kg, subsidi listrik dan BBM.
"Sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi kan baru Rp88,7 triliun berdasarkan data APBN Kita," ujar Bhima kepada MNC Portal Indoneia, Minggu (28/8/2022).
Dia juga menyebut masih banyak subsidi BBM yang tidak tepat sasaran dan dinikmati oleh industri skala besar.
"Pemerintah bisa lakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar," lanjutnya.
Dia mengatakan harga Solar subsidi Rp5.150/liter padahal harga seharusnya Rp13.950.
"Jadi bedanya antara harga sebenarnya di luar harga berlaku sebesar Rp8.300 per liter," jelasnya.
"Dengan tutup kebocoran Solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93% konsumsi solar adalah jenis subsidi," tambahnya.
Menurutnya, yang harus dilakukan adalah pembatasan dan evaluasi terhadap subsidi yang sudah diberikan, bukan justru menaikan harganya.
Karena kalau harganya naik, maka yang terdampak pada masyarakat.
"Kalau harga naik, yang tidak punya kendaraan ikut terdampak," ucapnya.
"Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis pertalite," pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)