Di tengah ketidakpastian global dan ekonomi yang masih tinggi, LPS pun terus menyoroti berbagai tantangan ke depan bagi sektor perbankan untuk dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan. Tantangan pertama yang perlu dicermati adalah tantangan-tantangan yang ada pada tatanan global.
Meskipun sudah mulai mereda, seperti pandemi dan disrupsi rantai pasok, namun kenaikan inflasi, kenaikan harga energi, dan perlambatan ekonomi global seperti Amerika Serikat dan Tiongkok serta kenaikan suku bunga secara global masih menjadi penyebab tingginya ketidakpastian.
Sejak berdirinya LPS tahun 2005, Indonesia telah mengalami berbagai macam krisis, seperti Subprime Mortgage & Lehman Brothers pada 2007-2008, Global Financial Crisis (GFC) pada 2009-2010, Krisis Fiskal Eropa pada 2011-2012 hingga pandemi COVID-19 pada 2019 sampai sekarang. Kendati demikian, sektor keuangan di tanah air tetap terjaga dan solid, karena di tengah rangkaian krisis itu, kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan terus tumbuh. Hal ini sekaligus mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan yang tetap terjaga.
"Keberadaan LPS memberikan keyakinan dan kepercayaan masyarakat kepada bank dan sektor keuangan," tambah Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah di diskusi yang sama.
Piter mengungkapkan, kemampuan untuk mampu bertahan di tengah gelombang krisis, termasuk krisis pandemi ini, ditujukan dengan indikator kinerja bank umum konvensional yang meningkat per Juni 2022, yakni CAR 24,72%, BOPO 78,46%, LDR 81,63%, NIM 4,78%, ROA 2,38%, NPL 2,86%. Termasuk empat bank terbesar Indonesia pada semester I 2022 yang mampu mencatatkan laba bersih yang luar biasa besar bahkan di tengah krisis, di antaranya BRI Rp24,79 triliun, Mandiri Rp20,21 triliun, BCA Rp18,05 triliun, BNI Rp8,8 triliun.
“Sekali lagi saya ingin menegaskan hal ini tidak lepas dari kiprah LPS, peran besar LPS menjaga keyakinan masyarakat terhadap sektor keuangan kita,” pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)