Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pencegahan Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat Melalui Program Kepatuhan Persaingan Usaha:

Opini , Jurnalis-Jum'at, 21 Oktober 2022 |19:31 WIB
Pencegahan Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat Melalui Program Kepatuhan Persaingan Usaha:
A
A
A

Halo pak, kenapa si XYZ (menyingkat nama sebuah perusahaan dari Jakarta) masuk ke customer saya di sini, seorang General Manager (GM) dari distributor di wilayah Palembang menelepon saya di kantor. Diujung telephone sana terus berkata “dia khan sudah punya wilayah kerja sendiri disana, jangan-jangan dia ingin juga buka kantor dan mulai berusaha di wilayah sini”, demikian sang GM meneruskan complaint-nya via telepon sambil terus meneruskan kekesalannya.

Peristiwa yang sama juga terjadi, “halo pak; saya minta ditertibkan dong si PT. OPQR yang masuk di wilayah sini, complaint yang sama datang dari distributor di Makassar”. Saya juga sudah menjelaskan panjang lebar via email ya pak! Mohon ditertibkan, kalau tidak saya juga akan bertransaksi - berjualan maksudnya - di Surabaya (dimana PT OPQR ini berkedudukan) supaya berimbang”.

Yang lebih menyakitkan lagi pak, dia koq bisa menawarkan harga yang lebih murah dari harga kami tawarin ya? Apakah Bapak dan team memberikan harga khusus (special price) kepada si OPQR? Jangan begitu dong pak, ini tidak adil rasanya! Kata si distributor Makassar – yang disaat itu owner-nya langsung -, si OPQR khan sudah mendapatkan privilege untuk buka kantor dan beroperasi di Surabaya, masak kemudian dia masuk lagi ke Makassar, lama-lama kasih dia semua aja pak! Si owner menumpahkan kekesalannya!

Saya mau complain pak, bagaimana si XYZ itu masuk di customer sawit saya pak? (maksudnya perusahaan yang memiliki pabrik dan perkebunan kelapa sawit). Saya khan sudah kontrak pengadaan dengan customer ini, koq si XYZ nyelonong aja? Macam mana ini pak? Dia mau ganggu saya disini, jangan sampai saya ganggu dia juga di Jakarta sana! Bapak sebagai principal seharusnya bisa memberikan teguran baik lisan maupun tertulis ke si XYZ, bila perlu kasih sanksi donk pak, biar fair! Kata-kata keras ini terus meluncur dari GM-nya distributor kami yang di Medan, NAD serta area Sumatra Utara dan sekitarnya. Makin sakit hati aku neeh, apa coba pak? Si GM bertanya, saya pun diam saja karena sadar beliau sedang tensi yang tinggi. Harga kawan itu lebih murah dari aku! pengen ku libas rasanya kalau ketemu orangnya itu, si GM keluar gaya Medan-nya.

Tiga contoh di atas adalah bentuk complaint dari perusahaan lokal di daerah yang bergerak di bidang distribusi alat-alat / peralatan teknik (keteknikan) yang berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan mekanikal (mechanical works). Distributor-distributor ini diangkat dan ditunjuk sebagai perusahaan-perusahaan yang mendistribusikan sekaligus memperdagangkan barang-barang teknik yang diproduksi oleh PT. HIJKLM sebagai – dalam hal ini – principal-nya. Mereka, para distributor ini, membangun perusahaan didukung dengan para karyawan lokal 2 dari berbagai latar belakang pendidikan dan asal daerah.

Akan tetapi, bayangkan kalau persoalan yang sama dan berulang setiap kwarter (quarter) atau setiap semester dalam tahun berjalan selalu terjadi, maka akan berapa banyak waktu yang harus dialokasikan untuk menyelesaikan hal-hal seperti ini. Bayangkan pula kalau setiap bulan terjadi! Sungguh situasi bekerja dan berbisnis yang kurang nyaman. Walaupun persoalan ini perlahan-lahan bisa diberikan solusi yang sifatnya parsial (partial solution), akan tetapi isu ini pasti akan berulang bilamana tidak disepakati formula yang tepat dalam menyelesaikannya.

Lalu, bagaimana sebaliknya menciptakan iklim yang nyaman agar para distributor ini bisa berusaha dan bekerja dengan baik tanpa selalu dipusingkan dengan hal-hal yang terjadi sebagaimana cerita-cerita diatas? Sebelum langsung masuk pada inti persoalannya ini, sebaliknya kita bedah pelan-pelan persoalan ini. Mengapa sampai terjadi complaint, baik biasa sampai dengan keras seperti itu? Apa penyebabnya? Apa satu dua faktor saja, atau banyak isu yang mesti dicarikan solusinya? Kemudian, bagaimana solusi-solusi yang bisa diberikan?

Bagaimana pengalaman di negara lain? Atau, bahkan di negara asal sang principal?

Mungkin ada baiknya kita mulai dengan melihat juga bagaimana halnya isu-isu ini di negara-negara lain yang typical iklim berusaha (berbisnis) memiliki kemiripan dengan kita? Thailand misalnya, atau Vietnam? Cerita-cerita yang kami dapatkan juga memiliki beberapa kesamaan walaupun ada juga punya perbedaan yang lumayan signifikan. Persamaan itu terletak pada ketegasan hak ekslusif dan non ekslusif serta beberapa kriteria dasar lainnya, sedangkan perbedaannya terletak pada principal yang juga memiliki gudang serta stok yang besar sebagai prasyarat menjalankan bisnis distribusi (distributionship) sedangkan di kita – pada kasus ini - tidak (atau mungkin belum) ada gudangnya.

Dalam prakteknya dinegara-negara dimaksud seperti Thailand misalnya, bangunan stok yang dibuat principal itu bisa menjadi hal yang sangat menguntungkan terutama dalam kecepatan antar jemput (delivery time) barang, baik terhadap distributor maupun pelanggan/ customer langsung. Hal lain adalah si principal bisa bertransaksi langsung dengan customer sehingga dapat mengukur tingkat konsumsi dari pasar, apabila customer yang dihadapi langsung lumayan banyak. Perihal – bertransaksi langsung - ini akan menjadi isu tersendiri yang wajib dicermati bilamana distributor dan principal bertemu di satu customer yang sama, dimana kondisi ini bisa saja terjadi karena masing pihak memiliki sales force untuk melakukan kewajiban itu.

Tentang bertemunya principal dan distributor di satu customer, sangat menarik mendengar dan mencermati cerita kawan dari Malaysia yang saat itu kami sedang mengikuti acara training sekaligus meeting (kalau tidak salah sekitar pertengahan tahun 2014) untuk wilayah regional Asia Pacific di Singapore. Sebut saja namanya Ben. You know, when I (or we) meet our big distributor at customer premises on the same purpose, I must step back and let our distributor do their job first, and then me. Sometimes we have to completely go back from there! (Anda tahu gak, kalaulah saya (atau kita) bertemu distributor besar kita di customer untuk tujuan yang sama – maksud si Ben, melakukan aktivitas promosi dan penjualan - maka saya harus mundur dan biarkan mereka menjalankan aktivitasnya terlebih dahulu baru saya. Terkadang, kami harus benar-benar mundur dari situ!), pungkasnya.

Ben bermaksud menggambarkan betapa powerful-nya distributor besar sehingga principal juga “harus mengalah” bila berhadapan di lapangan. Why you have to retreat (koq, Mengapa anda mundur dari situ?) Saya bertanya dengan sedikit keheranan. Because, this big distributor spends multi-million dollar buy our products every year! (Karena distributor besar ini, pembelian barang yakni produk-produk ke kita jumlahnya jutaan dollar setiap tahunnya), sambil tertawa nyaring si Ben memberi jawabannya.

Lain lagi cerita hubungan principal vs distributor ini di kota tempat dimana sang principal ini berasal, sebut saja “kota G” di Eropa sana. Saya lupa pimpinan ke berapa dari sejumlah penggantian secara regular itu – biasanya pimpinan ini kami sebut Managing Director (MD); walaupun secara kebahasaan tidak sepenuhnya benar akan tetapi lebih pada unsur kebiasaan penyebutan saja. Maksudnya pimpinan kantor principal ini yang berlokasi di Jakarta, Indonesia.

Biasanya mereka tidak lama dalam memimpin yang umumnya per 2 tahunan kontraknya) –, beliau menjelaskan begini (dan saya tidak akan pernah lupa perkataan ini): You know in G (dia menyebut nama kota tersebut), people move from principal to distributor and vice versa is quite common there. The one who working from principal for 3 – 4 years, resigned and move, employed by distributor for 1 – 2 years and then coming back joining principal again works as usual. All of this process is just normal (kamu tahu gak, di G orang berpindah kerja dari principal ke distributor dan sebaliknya itu sangat normal disana. Seseorang bekerja sebagai principal selama 3 sampai dengan 4 tahun, berhenti dan berpindah bekerja sebagai distributor selama 1 sampai 2 tahun kemudian balik lagi bekerja sebagai principal sebagaimana biasanya. Dan semua proses ini adalah normal-normal saja), begitu kata dia. Menarik khan!

Siapa sebenarnya sang principal itu? Dan siapakah pula yang dimaksudkan dengan si distributor itu? Kemudian, hal berikut yang perlu dibedah adalah tentang siapa itu principal? Siapa sih mereka itu? Sederhananya kita bilang “pemilik produk”. Merekalah yang meneliti, merancang, membangun prototipe sampai dengan membuat/ memproduksi baik secara individual maupun massal (mass production) produk-produk yang diperjualbelikan tersebut.

Rumah pembuatan produk-produk itu dikenal dengan pabrik atau sesekali dibilang “Production Unit”. Ditilik dari aspek kesejarahannya, maka sang principal ini umumnya adalah perusahaan kecil (pabrik kecil, bengkel atau produksi rumahan) yang bermula dari kota tertentu dalam sebuah negara kemudian makin maju usahanya, terus membesar dan membuka kantor-kantor cabang di berbagai kota masih terletak di negara asal berdirinya tersebut. Misalnya kalau di Indonesia; awal berdirinya di kota Purwokerto, kemudian membesar dan mendirikan kantor-kantor cabangnya di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kecil.

Nah, karena terus membesar serta menggurita dan seiring perkembangan baik dari ekonomi dunia, maka sang principal ini mulai memperluas cakupan pasar dalam memasarkan produk-produknya dan kemudian mulai membuka kantor-kantor cabangnya diluar negaranya, di berbagai negara sampai dengan berbagai benua dan menjadi perusahaan multinasional atau global mencakup wilayah Eropa, Amerika, Asia, Australia dan Afrika, sehingga jumlah kantor cabangnya mencapai ratusan unit dengan jumlah karyawan yang mencapai ribuan bahkan puluhan ribu orang secara global.

Umumnya kantor-kantor cabang ini cara kerjanya adalah meng-impor produk-produk yang diproduksi di pabrik-pabrik mereka dari lokasi mana saja di dunia kemudian masuk ke negara dimana “kantor cabang pengimpor” itu berada – sebut saja Indonesia - kemudian diperjualbelikan di pasar domestik. Jadi lebih kepada berdagang atau berjualan (selling activities). Kantor-kantor cabang di negara-negara tersebut biasanya disebut dengan Business Unit (BU) atau Unit Bisnis. Ada juga perluasan dengan cara mendirikan pabriknya di negara tertentu yang dipandang memiliki prospek pasar potensi besar bagi produk-produk yang dihasilkannya, sehingga tidak cukup hanya BU yang didirikan saja bahkan juga dengan pendirian pabrik sebagai unit produksinya yang sering disebut sebagai “Manufacturing Unit (MU)”.

Sangat boleh jadi, di sebuah negara berdiri 2 (dua) unit sekaligus walaupun dalam tahun yang berbeda disaat pendiriannya yakni ada Business Unit serta Manufacturing Unit baik dalam satu entitas (entity) atau tetap dalam entitas yang berbeda karena isu peraturan-peraturan di negara tempat sang principal berinvestasi. Dan kalaulah terjadi dua unit dalam satu negara pada kasuskasus khusus seperti ini, maka lebih memudahkan Business Unit dalam mengelola perdagangan jenis-jenis/ model-model barang yang ada.

Maksudnya begini; bilamana barang yang dibutuhkan ada didalam Manufacturing Unit satu negara, maka akan menjadi keuntungan yang berlebih karena pengaturan harga dan waktu pengiriman akan lebih mudah. Karena statusnya sebagai perusahaan multinasional/ global maka tidaklah mengherankan latar belakang kewarganegaraannya dari para pekerja yang bekerja disitu bisa datang dari mana saja dengan karakter asal yang berbeda pula.

Sebut saja perusahaan multinasional/ global – sang principal - itu dan kita beri nama “PT. HIJKLM” yang berinvestasi di Indonesia, membuka kantor cabang dan mempekerjakan karyawan yang terdiri dari beberapa tenaga asing dipadu dengan staf pekerja, orang-orang atau tenaga-tenaga kerja Indonesia dimana penulis adalah salah satu diantaranya.

Besar perusahaan (company sizing) sangat tergantung dari jumlah total angka rupiah hasil penjualan produkproduknya ke pasar domestik Indonesia secara nasional, dari Sabang sampai dengan Merauke. Principal ini kemudian dalam menjalankan usahanya dilakukan dengan cara mengangkat/ menunjuk beberapa distributor sebagai “agen resmi” mereka dalam mendistribusikan produkproduk ke dunia industri yang ada di tanah air. Tujuan dari penunjukkan distributor ini adalah: agar lebih mudah berkomunikasi serta lebih dekat dengan pasar, mampu membangun stok sampai ke kawasan-kawasan industri bahkan ke daerah yang jauh dari pusat-pusat perkotaan.

Dengan demikian, keberadaan distributor – sebagai kepanjangan tangan principal – secara geografis akan berada di seluruh wilayah Indonesia baik di perkotaan maupun di sentra-sentra 5 industri. Para distributor tersebut – diberi istilah stockiest 1 –sebenarnya siapa juga mereka itu? Mereka adalah para perusahaan domestik (lokal) yang membangun stok terhadap produkproduk yang dibuat/ di produksi oleh perusahaan asing PT. HIJKLM tersebut dan group perusahaan di dunia sebagaimana dijelaskan di atas, guna disimpan dan diperjualbelikan di Indonesia, dimana produk-produk dimaksud seluruhnya merupakan konsumsi sistem-sistem permesinan dalam berbagai segmentasi industri mulai dari industri berat sampai dengan ringan yakni; berupa komponen mesin maupun sebuah sistem yang agak kompleks yang tujuannya untuk menjaga kelangsungan hidup dari mesin-mesin – terutama mesin yang berputar (rotating equipment).

Sang principal biasanya melakukan impor dari pabrik-pabrik dalam satu group perusahaan dimana lokasi pabrik-pabrik dimaksud bertebaran di berbagai negara dengan berbagai belahan kontinen di dunia. Sebut saja produk (barang) tipe K diproduksi di Jerman sedangkan tipe L dibuat di China, dan seterusnya. Nah, barang-barang ini kemudian masuk ke dalam negeri langsung diteruskan ke para distributor yang sudah melakukan pemesanan sebelumnya, sehingga barang yang masuk harus sudah sesuai pesanan. Kemudian pembayaran dilakukan oleh distributor sesuai waktu yang disepakati dimana semua hal dan aktivitas jual beli ini dituangkan dalam perjajnijan “principal vs distributor”.

Para distributor yang sekaligus stockiest ini secara prinsip organisasi perusahaan adalah perusahaan perorangan yang berdiri sendiri tanpa keterikatan apapun dengan PT. HIJKLM, baik permodalan maupun legal lainnya termasuk aspek kesejarahannya, sehingga benar-benar “independent company”. Adapun secara kepemilikan, sebagian besar/ mayoritas adalah berbasis keluarga atau family-owned business yang praktek pengelolannya dilakukan secara turun temurun dari kakek-ke-ayah, dari-ayah-keanak dan seterusnya. Sedangkan dari aspek permodalannya – sebagaimana perusahaan keluarga yang ada di Indonesia; setidaknya, tidak terlalu terbuka dalam ‘financial exposure-nya” – lebih kepada “urusan klasik pinjam meminjam keluarga”, ada pula dengan pinjam meminjam semacam model perbankan konvensional dan ada pula yang mengandalkan sistem perbankan berbasis syariah.

Dalam banyak kesempatan kami selama bekerja sekaligus berinteraksi, yakni; saya dan team distributor tersebut baik dari level pemilik (owner) sampai kepada staf-nya sering berbincang-bincang ringan tentang berbagai isu termasuk perihal sejarah perusahaan mereka yang kadang-kadang masuk ke aspek keuangannya. “Dulu toko kami itu pak, paling luasnya 12- meter persegi dan adanya di bilangan Lindeteves Glodok (sekarang, disaat kita ngobrol-ngobrol tersebut), kata salah satu owner perusahaan yang berkedudukan di Jakarta”.

Jangan lihat ukuran sekarang ya pak, dulu mah se-uprit! Kami masih pake etalase kaca yang setiap pembeli langsung bisa melihat dan menunjuk komponen mana yang dia mau, model warteg gitu pak, sambil tersenyum beliau melanjutkan. Waktu itu ayah saya belum punya duit bikin etalase kayak gitu, jadi ayah utang dulu ke bibi saya (kakak ayah) dan akan diganti begitu udah ada duitnya, terus ongkos sewa toko itu – kalau tidak salah - sekitar Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) setahun di jaman itu yang kata beliau sekitar pertengahan 60-an sd awal 70-an, itu kata ayah disaat saya masih kecil; sang owner lanjut bercerita. Jadi begitulah perusahaan kami ini mulai berjalan, cerita beliau di bagian-bagian akhir ceritanya. 

Tipe-tipe awal berdirinya perusahaan milik distributor-distrbutor ini memiliki banyak kesamaan sehingga mungkin perasaan senasib ini jugalah yang ikut mempengaruhi mereka dalam pengambilan keputusan bilamana berhadapan dengan kepentingan bersama. Salah satu yang penulis perhatikan sekaligus alami adalah kerjasama dalam suplai & demand (supply and demand cooperation) pengadaan dalam mengisi stok-stok kosong diantara mereka. Berjalan dengan sangat baik. Misalnya begini, suatu saat saya sedang diskusi diruang owner dari salah satu distributor di Jawa Timur. 

Tiba-tiba mobile phone si owner berdering; Halo pak SSSSS, beliau memanggil team owner distributor lain yang ada di wilayah Kalimantan. Ada yang bisa dibantu neeh? Si owner melanjutkan. Ya, saya butuh barang ini (sambil menyebut spesifikasi teknisnya), 5 pieces (PCs) ya! Ready gak barangnya? Pertanyaan dari ujung telephone orang Kalimantan. Bentar, saya cek stok dulu; oke, ready; kata si Jawa Timur sambil memeriksa stok lewat layar laptopnya. Langsung kirim ya? Atau gimana? Oke, sip, langsung, si owner menutup mobile phone mengakhiri percakapannya. Singkat, Jelas Padat!

Hubungan principal dan distributor-distributornya, kepentingan dan isu-isu yang melingkupinya. Lebih lanjut, rasanya perlu kita lihat teorinya sedikit yakni dalam hubungan bisnis antara PT. HIJKLM ini dengan para distributor inilah dikenal dengan “principle and distribution partnership” 2 . Prinsip dasar dari hubungan ini adalah pengaturan atas saling pengertian yang berusaha dituangkan dalam perjanjian tertulis dimana tidak memuat banyak hal detail didalamnya walaupun disematkan status distributor ekslusif maupun non eksklusif 3 .

Sejenak perlu diterangkan dan diberikan batasan tentang: 1) Distributor ekslusif (exclusive distributor) yakni principal memberikan dan menjamin distributor bahwa dialah yang berhak melakukan pemasaran dan penjualan produk-produk dimaksud di wilayah tersebut. Dan, 2) Distributor non eksklusif (non-exclusive distributor) yakni principal memberikan status distributor di suatu wilayah tertentu tanpa “hak ekslusif” sehingga distributor lain dan/ atau dari wilayah sama maupun berbeda dapat saja “berjualan (bertransaksi)’ di wilayah dimaksud.

Sekilas terlihat bahwa penjelasan status distributor di atas ini baik-baik saja dan boleh jadi berjalan mulus sebagaimana yang diinginkan. Akan tetapi baik status #1 maupun #2 ini merupakan isu yang dalam banyak hal menjadi sulit dikelola kalaulah perjanjiannya tidak dibuat dengan lebih terperinci, terukur, saling menguntungkan dan - sudah tentu - sekaligus tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara ini. Hal-hal yang timbul dan harus dapat dikelola dengan baik, dapat kita inventarisir sebagai daftar isu antara lain: Keadilan yang terusik karena merasa secara nature “memiliki” wilayah kerja dimaksud dan tidak membolehkan distributor lain “masuk” ke wilayahnya. Kemudian juga, terjadi disparitas harga dengan berbagai alasan.

Dilanjutkan dengan hal selanjutnya yakni; principal terus menerus mengembangkan luasan/ penguasaan pasar (market captured) baik secara segmentasi industri maupun geografis/ territory. Dan isu yang terakhir adalah soal keinginan berkembang dan kemampuan menyesuaikan dengan tuntutan jaman. Daftar invetarisasi masalah inilah yang menimbulkan kerumitan dalam mengelola isu persaingan usaha yang coba kita bahas disini. Satu-per-satu isu dari daftar inventarisasi masalah ini sebaliknya diuraikan dengan lebih terang dan tajam sehingga persoalan ini dapat diberikan jalan keluar secara win-win solution.

Tentang Keadilan yang terusik. Di dalam perundingan awal kerjasama partnership sebaliknya dibahas lebih terperinci tentang: nature bisnis dari produk-produk yang didistribusikan dan diperjualbelikan. Hal yang berikutnya adalah model-model kerjasama yang dikehendaki baik oleh principal dan juga nyaman bagi “kandidat” distributor. Selanjutnya, dibahas juga rencana-rencana kedepannya sesuai perkembangan jaman walaupun masih bersifat prediksi. Dan berikutnya adalah; agar tidak melupakan juga menetapkan dan menyepakati jadwal pertemuan regular atau terjadwal (regular meeting) yang isinya membahas semua isu yang tejadi selama kerjasama ini berlangsung dan sedapat mungkin diberikan solusinya bilamana ditemukan ada isu-isu yang mengganjal.

Pada point ini sebaliknya dilakukan kajian terlebih dahulu dalam menetapkan status ekslusif dan non ekslusif bagi distributor, walaupun seiring perjalanan waktu status “ke-distributor-an” dapat berubah dengan alasanalasan tertentu, seperti misalnya tidak tercapainya target penjualan yang sudah disepakati secara bersama dalam beberapa tahun berturut-turut (consecutive year), pembayaran yang bermasalah serta hal-hal lain yang telah sepakat untuk dipatuhi secara bersama-sama. Berbicara keadilan lebih kepada nilai rasa yakni rasa adil itu sendiri. Intinya adalah setiap distributor merasa diperlakukan adil oleh principal-nya. Kondisi ini yang secara ideal diusahakan agar bisa tercapai.

Persoalan disparitas harga. Salah satu kerumitan yang paling banyak menyita waktu adalah pembahasan masalah harga baik diawal perundingan, di saat berjalannya kerja sama serta disaat review tahunan (annual review meeting) antar kedua belah pihak. Persoalan yang biasanya timbul dari isu ini antara lain: adanya paralel import, price campaign dari principal guna memenuhi target penjualan tahunan dan model (kiat-kiat) bisnis dari para distributor dalam menjalankan roda perdagangannya. “Si OPQR harganya lebih murah, dugaan saya karena dia impor dan masukkin dari luar sendiri”, demikian salah satu owner perusahaan distributor di pulau Kalimantan dan sekitarnya, di ujung telephone sana berbicara kepada saya disuatu waktu. Lho, koq bapak tahu? Coba saya ajak dialog.

“Saya cek sendiri barangnya setelah saya minta diperlihatkan sama customer”, si owner mulai bercerita. Jadi saya khan penasaran, kalau barang tipe X ini khan biasanya si customer beli dari saya, tapi koq sudah +/- 2 (dua) tahun ini koq gak beli-beli lagi? Trus, saya telephone-lah ke koneksi saya di customer tersebut dan akhirnya dia ngaku kalau bisa mendapatkan harga lebih murah dari distributor lainnya, si owner terus bercerita. Lho koq bisa? tanya saya ke koneksi saya tersebut pak. Lalu dia bilang bapak datang saja kesini lihat barangnya, saya beli agak dibanyakin jumlahnya biar kalau ada kerusakan bisa langsung diganti dan kebetulan murah, jadi gak masalah, kata koneksi saya itu pak, si owner melanjutkan ceritanya.

Pergilah saya kesana pak walaupun lama perjalanannya +/- 6 jam gak apa-apa dech, penasaran saya dan juga bakal saya photoin sebagai bukti bilamana kita bisa berdiskusi spesifik tentang isu ini nanti, si owner terus melanjutkan. Nah sampailah saya disana, udah malam ceritanya neeh pak, jadi kita nginap dulu, besoknya baru kita ke customer itu, dan singkatnya saya udah lihat barangnya dan sudah saya periksa. Tadinya saya pikir barang palsu, tapi koq gak ada yang salah dengan barangnya, cuman saya gak bilang kondisi yang sebenarnya sama si customernya, tapi cuma bilang kalau nanti saya tanya principal dulu dech, nanti kalau bapak berkunjung kesini kita diskusikan ya pak, karena saya tadinya mau beli barangnya sebagai bukti buat bapak karena saya pikir Sekedar photo saja gak cukup, tapi gak dibolehkan sama koneksi saya pak; si owner mengakhiri kisah investigasinya.

Kemudian, tentang pengembangan pasar (market extension). Dalam rangka untuk terus membesarkan usahanya, maka principal dituntut untuk terus memperluas penguasaan pasarnya dengan 2 (dua) model pendekatan yakni; pertama: berdasarkan segmentasi industri dan kedua pendekatan geografis. Secara sederhana, pendekatan segmentasi industri adalah perluasan pasar dengan menyasar industri-industri yang kurang mendapatkan prioritas sejauh ini sehingga status perhatian yang tadinya secondary menjadi primary attention yang dikenal dengan konsep “key account/ segment focus” 4 . Proses perluasan ini secara otomatis akan menciptakan sekaligus menambahkan pula jaringan distribusi baru pada segmentasi dimaksud.

Proses yang sama pula akan terjadi dan berlaku pada perluasan pasar dengan pendekatan geografis. Penambahan jaringan distribusi ini sudah tentu menimbulkan concern bagi distributor yang ada (existing distributor). Sekali lagi, isu-isu ini bisa diminimalisir bilamana sering dijelaskan baik awal, dalam perjalanan dan dalam review tahunan. Ada dialog yang agak isolative soal isu ini karena sifatnya pendekatan individual. Kami punya rencana untuk buka pasar di wilayah VWXYZ, menurut bapak gimana? Ucap salah satu petinggi di tim manajemen kami kehadapan owner distributor. Ouuww, dulu khan udah saya usulan! Khan principal waktu bilang waktunya belum tepat, berarti sekarang udah tepat, pokoknya saya “ON” (maksudnya setuju), si owner menimpali dengan sangat antusias. Dan, setelah beberapa pertemuan lanjutan akhirnya jadilah distributor tersebut membuka kantor cabangnya disana.

Dan yang terakhir tentang keinginan berkembang dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagaimana dipahami bahwa perubahan itu adalah sebuah keharusan, tidak terkecuali perubahan jaman, ditandai dengan perubahan gaya hidup sekaligus pola-pola konsumsi manusia termasuk juga perubahan di dunia industri. Dahulu, orang berbelanja barang-barang teknik baik secara satu unit utuh maupun komponen-komponenya cukup datang ke tokonya dan berbelanja yang bahkan terkadang mengantri dalam antrian yang panjang. Era itu berganti dengan sistem on site delivery via kemajuan komunikasi telephone dan faksimili, didukung dengan armada sales person yang melakukan kunjungan secara berkala ke accountaccount yang dikategorikan sebagai pelanggan/ customer baik lama maupun baru.

Era ini kemudian sudah mulai tergantikan lagi dengan pesatnya perkembangan konsep digitalisasi sekarang ini. Perubahan-perubahan seperti ini memerlukan penyesuaian baik dari perilaku principal maupun para distributornya dalam memetakan agenda-agenda ke masa depan. Dalam prakteknya perilaku menyesuaikan diri terhadap perkembangan jaman ini sulit dilakukan baik dari sisi distributor maupun principalnya yang mungkin bisa kita artikan dengan comfort zone 5 .

Hal ini juga merupakan salah satu isu yang harus segera diberikan solusi dan tidak berlarut-larut dalam penyelesaiannya, karena sejauh ini juga menjadi salah satu penyebab kerumitan dalam kepatuhan persaingan usaha. Saya juga jadi teringat obrolan kami di suatu saat dengan salah satu distributor besar di Jawa Tengah yang bercerita tentang perjalanan dagang perusahaanya, dimana obrolan itu terjadi disaat kami makan malam bersama setelah joint visit ke customer distributor dimaksud. Toko saya ini pak, pernah orang tuh ngantri lumayan panjang sampai ke jalan raya untuk beli barang-barang yang dia lagi perlu, biar pabriknya bisa produksi terus. Itu di awal-awal 80-an kalau saya gak salah ingat, si owner distributor itu melanjutkan.

Sampaisampai saya jadi kurang tidur, gara-gara ada orang ketok-ketok pagar nyari barang di tengah malam buat beli barang dan itu terjadi berkala-kali. Masa itu adalah masa ke-emas-an kami jualan barang-barang bapak ini (saya datang dari principal, jadi dibilang barang-barang saya), kata si owner dan saya senyum-senyum saja mendengarnya. Mungkin secara psikologis “jaman ke-emas-an” yang dimaksud si owner ini yang menciptakan zona nyaman (comfort zone) bagi beberapa distributor sehingga merasa tidak perlu lagi berusaha ekstra karena merasa sudah cukup segala-galanya. Apalagi melihat gaya hidup mereka disaat itu hingga sekarang yang serba tercukupi kalau tidak mau disebut berlebihan. Kondisi-kondisi seperti ini yang terkadang dalam membuat sang principal agak frustasi sehingga terpikirkan untuk menunjuk distributordistributor baru yang bukan berasal dari nature bisnis yang sama bahkan sama sekali berbeda. Perdebatan-perdebatan panjang dan keras menyangkut isu-isu ini beberapa kali terjadi dalam meeting manajemen di level principal di waktu-waktu tertentu.

 Perihal yang patut mendapatkan perhatian guna me-mitigasi persoalan-persoalan ini di masa depan. Keseluruhan hal yang dibahas disini merupakan kerumitan yang dihadapi para pelaku usaha di dunia industri yang ada di Indonesia. Kerumitan yang paling sering dihadapi adalah mengerucut pada 2 (dua) hal yakni; masuk wilayah distributor lain dan disparitas harga. Memang, perusahaan yang dibangun dengan konsep “perdagangan” atau trading, selalu memiliki tim penjualan (sales team) dan marketing yang dapat bergerak bebas kemana saja dalam rangka memperluas pasarnya. Akan tetapi, dalam kasus pengaturan dan penataan distribusi barang dalam kasus ini akan menimbulkan persoalan tersendiri yang membutuhkan solusi.

Perihal yang patut mendapatkan perhatian guna me-mitigasi persoalan-persoalan ini di masa depan. Keseluruhan hal yang dibahas disini merupakan kerumitan yang dihadapi para pelaku usaha di dunia industri yang ada di Indonesia. Kerumitan yang paling sering dihadapi adalah mengerucut pada 2 (dua) hal yakni; masuk wilayah distributor lain dan disparitas harga. Memang, perusahaan yang dibangun dengan konsep “perdagangan” atau trading, selalu memiliki tim penjualan (sales team) dan marketing yang dapat bergerak bebas kemana saja dalam rangka memperluas pasarnya. Akan tetapi, dalam kasus pengaturan dan penataan distribusi barang dalam kasus ini akan menimbulkan persoalan tersendiri yang membutuhkan solusi.

Sebagai sumbang saran, mungkin sudah saatnya kita memikirkan konsep-konsep pengaturan dan penataan ini lewat penjelasan-penjelasan tambahan dari UU Persaingan Usaha, bilamana sudah ada pengaturan dari prinsip hubungan dagang Principal dan Distributor ini. Penjelasan-penjelasan ini tidak masuk pada hal-hal yang prinsip akan tetapi semacam bimbingan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi saat ini meliputi antara lain:

Apakah diperlukan kontrol harga atau dilepas bebas saja ke mekanisme pasar, sehingga kalaulah ada pihak yang keberatan & mengajukan complain akan langsung di-dismissed. Salah satu konsekuensi logis-nya adalah “yang besar akan memakan yang kecil”. Atau dilakukan “menghormati kontrak (agreement honor)”. Maksudnya begini: bilamana sudah ada distributor yang melakukan kontrak pengadaan dengan customer tertentu dan itu diberitahukan kepada principal untuk diumumkan kepada semua distributor bahwa si A sudah berkontrak dengan customer X, maka distributor lain tidak diperbolehkan “masuk” kesitu. Pertanyaan lanjutannya adalah: bagaimana kalau dilanggar? Apakah perlu ada sanksi? Kalau terjadi pelanggaran secara berulang, bagaimana juga sanksinya?

Apakah principal perlu melakukan “internal announcement” terlebih dahulu sebelum melakukan perluasan secara geografis sehingga para distributor yang mau berinvestasi mendapatkan privilege sebelum principal melakukan secara mandiri. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah, kesempatan berusaha yang adil bagi siapa saja yang bersedia, baik internal maupun eksternal. Terkadang terpikirkan juga tentang keterlibatan pemerintah daerah maupun KADIN di daerah.

Review meeting tahunan menjadi wajib (mandatory)6 guna mendapatkan kesamaan cara pandang dalam memecahkan setiap persoalan yang timbul dalam hubungan dagang ini baik aspek teknis maupun non teknis. Seluruh persoalan dan ganjalan sebaliknya dibahas secara terbuka dalam kesempatan ini dan kalau mungkin disaat yang sama disepakati solusinya. Pengalaman memperlihatkan banyak hal yang bisa dibicarakan dengan baik bila semua isu diangkat secara sangat terbuka dan berani serta bertanggung jawab dengan saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya.

Kemudian, Mengapa kita tidak memanfaatkan kemajuan era digitalisasi sekarang ini? Bangunlah sistem integrasi yang bisa di akses kedua belah pihak khusus menyangkut isu-isu besar yang mungkin diberi nama “SETUJU & SALAMAN (AGREE & GO)” sehingga setiap isu bisa langsung bisa diberikan solusinya (terutama kasus-kasus kecil dan sederhana) disaat itu juga. Sedangkan yang besar-besar dan agak rumit serta membutuhkan waktu bisa dibahas disaat meeting dan lain sebagainya. Sistem ini bisa juga dalam bentuk aplikasi berbasis lokal saja mengingat isu-isu yang diangkat hanya seputaran domestik Indonesia saja. Media-media sosial dan perangkatnya tidak selamanya disenangi oleh semua orang karena terkadang hal-hal yang sifatnya privasi juga sering menjadi isu, karena dibocorkan orang. Nah, dengan kemampun digitalisasi yang mumpuni dapat mencegah itu lewat kreasi aplikasi-aplikasi yang baik dan kuat terhadap kebocoran-kebocoran dimaksud.

Sjaiful Kotahatuhaha (Alvie) – Pengajar dan Praktisi Industri

(Feby Novalius)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement