JAKARTA - Para pengusaha secara terbuka mengakui maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan bahwa gelombang PHK tidak bisa dihindari karena dipicu oleh berbagai faktor.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang tahun 2024 sebanyak 257.471 peserta kehilangan pekerjaan. Sementara itu, pada periode Januari hingga 10 Maret 2025, angka PHK tercatat mencapai 73.992 peserta.
Berikut sejumlah fakta menarik terkait maraknya PHK dan alasannya, seperti dirangkum Okezone, Minggu (18/5/2025):
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengungkapkan survei internal Apindo mengidentifikasi lima penyebab utama PHK:
1. Penurunan permintaan (69,4%)
2. Kenaikan biaya produksi (43,3%)
3. Perubahan regulasi upah minimum (33,2%)
4. Tekanan dari barang impor (21,4%)
5. Adopsi teknologi (20,9%)
Shinta menjelaskan badai PHK yang terus berlanjut juga disebabkan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat. Hal ini menyeret dampak pada pelemahan daya beli serta menurunnya permintaan.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 4,87% (year-on-year) pada Kuartal I 2025, melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (5,11%) maupun kuartal sebelumnya pada kuartal IV 2024 (5,02%),,” tambahnya.
Shinta menambahkan, secara kuartalan perekonomian juga mengalami kontraksi sebesar 0,98% yang menandakan tekanan terus menerus dari sisi domestik maupun eksternal. Perlambatan ini terjadi di tengah melemahnya daya beli, dimana konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,89%, terendah dalam lima kuartal terakhir, meskipun mencakup periode Ramadhan yang biasanya mendorong belanja masyarakat.
“Tekanan inflasi dan terbatasnya stimulus fiskal menjadi penyebab utama penurunan daya beli, terutama pada kelompok pendapatan menengah ke bawah,” lanjutnya.
Kemudian dari sisi fiskal, belanja pemerintah mengalami kontraksi sebesar 1,38% sebagai hasil dari kebijakan yang lebih berhati-hati. Sementara itu, investasi juga menunjukkan pelemahan dengan pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 2,12%, angka terendah dalam dua tahun terakhir.
“Sikap wait and see investor terhadap transisi pemerintahan serta hambatan struktural seperti regulasi yang rumit dan tingginya biaya logistik menjadi faktor penghambat utama,” kata Shinta.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menegaskan perlunya langkah deregulasi yang nyata dari pemerintah untuk menyelamatkan industri padat karya. Dia mengkritik kebijakan eksesif yang dinilai kontraproduktif di tengah melemahnya perekonomian dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Industri tembakau dan makanan minuman termasuk sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. Kita minta ada deregulasi, bukan malah meregulasi, karena kita menghadapi kelemahan ekonomi dan banyak tenaga kerja yang di-PHK,” ujar Bob
(Taufik Fajar)