JAKARTA - Salah satu tulang punggung infrastruktur di Indonesia berasal dari industri besi dan baja. Sektor ini menyumbang dampak signifikan terhadap perubahan iklim di balik peranannya yang vital.
Industri ini menghasilkan sekitar 20-30 juta ton karbon dioksida (CO2) atau sekitar 4,9% dari total emisi sektor industri nasional setiap tahunnya. Angka ini berpotensi meningkat jika tidak diatasi. Hal ini terutama dengan penggunaan blast furnace (teknologi produksi baja yang menghasilkan emisi tinggi).
Situasi ini menjadikan dekarbonisasi industri baja sebagai langkah awal demi menciptakan teknologi rendah karbon dan ramah lingkungan. Upaya pengurangan emisi harus segera dilakukan mulai dari, pembaruan teknologi produksi, peningkatan efisiensi energi melalui adopsi teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan dan optimalisasi baja daur ulang.
Untuk mendukung target net zero emissions atau nol emisi bersih, industri memproduksi baja dengan rendah emisi karbon, Fortise dan Fortise+ yang diproduksi oleh PT Gunung Raja Paksi Tbk(GGRP). Produk baja ini dirancang untuk menjawab tantangan industri global yang menuntut keberlanjutan dan ketahanan material. Produk green steel ini membawa semangat transformasi menuju ekonomi sirkular. GRP berkomitmen sebagai pelopor industri baja pertama di Indonesia yang bertanggung jawab sebagai lingkungan.
Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian Dodiet Prasetyo menyampaikan keberadaan baja low emission penting dalam mendorong dekarbonisasi industri baja nasional.
“Industri baja memegang peranan penting dalam pembangunan infrastruktur, pendukung ekonomi yang inklusif, dan berkelanjutan. Upaya dekarbonisasi melalui baja green steel menjadi bukti konkrit Indonesia menuju net-zero emission. Ini hanya bisa tercapai dengan kolaborasi erat antara industri dan pemerintah,” ungkap Dodiet di Grand Ballroom Kempinski (24/6/2025).
Baja rendah emisi memberikan manfaat strategis bagi Indonesia, antara lain mengurangi ketergantungan terhadap impor produk baja, menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong daya saing nasional melalui pengembangan teknologi hijau berstandar global
Presiden Direktur GRP Fedaus menegaskan, baja low emission menjadi langkah strategis untuk menjawab tantangan industri baja nasional.
“Industri baja nasional saat ini berada di bawah tekanan global, terutama akibat masuknya arus impor. Kami percaya tantangan bukan alasan untuk berhenti berinovasi. Justru inilah saatnya berkembang,” tegas Fedaus.
Proses pembuatan baja rendah emisi ini mengandalkan teknologi Electric Arc Furnace (EAF) yang memanfaatkan baja scrap atau baja daur ulang sebagai bahan baku. Ini adalah wujud nyata penggunaan sumber daya yang lebih berkelanjutan.
Upaya industri baja nasional berkelanjutan mendapat dukungan regulatif dari pemerintah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendukung melalui Surat Edaran Menteri PUPR Nomor 13 Tahun 2019 yang mengatur tentang penggunaan baja tulangan beton sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam setiap proyek infrastruktur yang berada di bawah Kementerian PUPR.
(Dani Jumadil Akhir)