"IEU-CEPA itu besar. Negosiasinya lama sekali, dan tujuan kita adalah menjadi alternatif pasar. Kita juga harus mengembangkan wilayah lain seperti Amerika Latin dan Afrika," ujarnya.
Menurut David, AS sangat membutuhkan pendapatan dari pengenaan tarif impor terhadap mitra dagangnya. Pasalnya, anggaran yang diperoleh digunakan untuk APBN AS. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia, termasuk negara lainnya, harus realistis bahwa tidak mungkin tarif dagang Trump diturunkan sampai 0%.
"Sebenarnya yang mendapatkan beban 19% itu adalah masyarakat di sana (AS). Beban itu bukan untuk kita, tapi konsumen di sana. Kita ini mau berapapun tarifnya, tidak ada masalah. Ini untuk meningkatkan APBN mereka juga, efisiensi, dan lain-lain. Mereka butuh 300-400 miliar dolar dari pendapatan tarif," ujarnya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Fithra Faisal menyatakan, salah satu dampak positif utama dari IEU-CEPA adalah potensi peningkatan ekspor Indonesia hingga 50% dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Hal ini dimungkinkan karena sekitar 80% produk unggulan Indonesia-seperti minyak kelapa sawit berkelanjutan, tekstil, alas kaki, hasil perikanan, makanan olahan, dan produk pertanian-akan mendapat bebas tarif atau preferensi tarif di pasar Eropa.
Dampak turunannya adalah penciptaan lapangan kerja di berbagai sektor seperti industri manufaktur, pertanian dan perikanan, serta jasa profesional dan logistik. “Potensi penyerapannya bisa mencapai satu juta tenaga kerja,” kata Fithra dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (18/7/2025).
Keuntungan lainnya adalah dukungan terhadap pengembangan ekonomi hijau. IEU-CEPA diharapkan mempercepat investasi dan pertumbuhan di sektor energi terbarukan, industri hijau, serta pertanian berkelanjutan. Ini merupakan langkah penting dalam transisi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon.
“Kita bisa leverage kapasitas institusional untuk memenuhi standar Uni Eropa, baik dalam hal lingkungan, kelembagaan, maupun tata kelola,” jelas Fithra.
(Feby Novalius)