Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pemerintah Akui Revisi Tax Treaty Alot

Fakhri Rezy , Jurnalis-Selasa, 24 Juli 2012 |16:34 WIB
 Pemerintah Akui Revisi <i>Tax Treaty</i> Alot
Ilustrasi. (Foto: Corbis)
A
A
A

JAKARTA - Guna meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak antarnegara, pemerintah akan melakukan renegosiasi Tax Treaty. Karena kebijakan antarnegara, maka tax treaty memerlukan pembicaraan secara government to government (G-to-G).

Perjanjian ini, digunakan dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, pembicaran yang dilakukan juga tidak gampang dan berlangsung sangat alot.

"Banyak yang lagi kita kerjakan, Belanda sudah hampir selesai. Sekarang kita sedang mencoba Jepang, ini juga agak alot prosesnya, tapi tetap akan jalan juga," ungkap Dirjen Pajak, Fuad Rahmany, kala ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Selasa (24/7/2012).

Fuad mengatakan, negosiasi tax treaty sudah dilakukan hampir 20 tahun, namun revisi yang diajukan belum juga mencapai kesepakatan. Meski demikian, Fuad mengungkapkan tax treaty tidak akan dilakukan jika Indonesia malah kehilangan sumber pendapat negara.

"Misalnya, kita ada renegosiasi tax treaty dengan pulau Siceles, negara kecil banget, jadi jangan kuatir dengan hal itu. Kita enggak punya hubungan dagang, dia juga bukan investor di sini, jadi itu yang tidak perlu kita khawatirkan juga," ungkapnya.

Menurutnya, ada 30-40 negara yang juga mengenakan tax treaty ini, namun ini tidak perlu dikuatirkan. "Toh hubungan perdagangannya juga tidak terlalu besar," ujar Fuad.

Fuad mengatakan, negara-negara besar yang harus merevisi tax treaty yakni, Inggris, Jepang, Korea, China, dan Malaysia. Negara-negara tersebut yang sedang digarap kira-kira untuk hubungan dagang dan investasi.Fuad mengatakan, kelima negara tersebut sudah tersedia desain Tax Treatynya. "Tinggal apakah negara-negara tersebut menyetujui atau tidak. Inilah yang bikin alot," ujar Fuad.

Menurut dia, ada poin-poin yang dibicarakan pada renegosiasi yang membuat alot, yakni masalah besaran dari tarif dari BUT (brand utilitize tax), dimana kalau dia punya untung dia kirim ke luar negeri, nah itu dia kena pajak final 20 persen, di tax treaty ada yang dijadiin 10 persen.

Dia menambahkan, poin selanjutnya dimana ada action of information juga menjadi salah satunya. "Intinya akan kita redesign dan menyesuaikan dengan modelnya OECD, dimana mereka punya model tentang tax treaty yang bagus seperti apa," ujar Fuad.

Fuad menjelaskan, pemerintah akan mengembalikan 20 persen jika memang investor menginginkan, namun harus ada take and give nya. "Misalnya, kita mau keras sekarang, kita mau BUT nya kembali ke 20 persen, tidak mau lagi 10 persen, akan berdampak investor tidak ingin berinvestasi di Indonesia," katanya

"Jadi banyak hal lain yang harus juga dipikirkan, dari segi pajak meningkatkan penerimaan pajak tapi dari sisi investasi misalnya tidak ada yang mau menanam modal di Indonesia lagi, kita akan kehilangan pertumbuhan ekonomi nanti," tukas dia.

(Martin Bagya Kertiyasa)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement