Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Agitasi Reformasi, BBM Bersubsidi, Katak Mendidih dan Fluktuasi IHSG

Agitasi Reformasi, BBM Bersubsidi, Katak Mendidih dan Fluktuasi IHSG
Ilustrasi. (Foto: Okezone)
A
A
A

TANGGAL 14 Mei 2013, tepat 1,5 dekade reformasi. Secara historis IHSG punya kecenderungan 64 persen (sembilan dari 14 tahun) untuk terkoreksi di hari bersejarah ini, yang saat itu lebih dikenal dengan adanya demonstrasi, walaupun secara pemerintahan hanya terjadi deformasi. Semoga level psikologis bulat 5.000 cukup menahan laju koreksi IHSG dan tidak tertembus dengan volume yang signifikan.

Kontras dan ironis bahwa tembusnya tonggak 5.000 IHSG justru dibarengi oleh penurunan peringkat dari S&P dan juga turunnya pertumbuhan ekonomi. Tampaknya kontrak IHSG untuk bertengger di 5.000 perlu rekalkulasi dalam jangka menengah, karena IHSG sudah bergerak autopilot sejak melewati valuasi fundamentalnya yang sudah berhenti di 4.667 untuk kuartal II ini. S&P telah menurunkan proyeksi peringkat utang, padahal investor justru berharap S&P akan memberikan predikat peringkat investasi menyusul Moody’s dan Fitch tahun lalu.

Pemerintah terkesan gagal memanfaatkan “momen dan momentum” jangka panjang. Momen adalah waktu (yang sudah ditunggu lama), sedangkan momentum adalah kekuatan (Indonesia yang diramalkan menempati peringkat ketujuh ekonomi dunia pada tahun 2030). Padahal Indonesia memiliki banyak potensi dan kesempatan, namun saat ini terkendala menyempitnya ruang fiskal.

Indonesia walaupun baru sepertiga jalan pada tahun 2013 ini, namun sudah banyak sinyal serta tanda indikator ekonomi meleset dari proyeksi pemerintah yang kelewat optimistis. Dengan pertumbuhan ekonomi domestik yang sedang mengalami moderasi disertai inflasi yang meninggi, maka bisa dikatakan bahwa perekonomian tidak sedang bertumbuh setidaknya dalam dua kuartal ke depan, atau bisa disebut sebagai ilusi pertumbuhan.

Yang perlu diketahui investor adalah kenaikan fantastis ini sudah tidak didukung oleh faktor valuasi fundamental jangka panjang, melainkan hanya faktor likuiditas teknis jangka pendek. Secara hitungan rasio pasar, sudah tentu nilai IHSG saat ini relatif (mendekati) mahal, terutama sektor-sektor unggulannya juga ‘mahal’nya sudah di atas ‘mahal’-nya IHSG, yaitu sektor properti, konstruksi dan infrastruktur.

Dari sisi ekonomi makro, bayang-bayang inflasi yang tinggi tahun ini sudah kasat mata, dan perlambatan ekonomi tak terelakkan lagi karena beberapa indikator sudah menyumbang nada sumbang yang sama. Kenaikan BBM dan inflasi sebagai suatu hal yang penting dan kompleks bagi ekonomi dan bursa saham, namun yang paling menganggu perhatian investor adalah proses pengambilan keputusan kebijakan progresif oleh pemerintah yang labil berlarut-larut yang dapat menciptakan ekspektasi liar dan spekulasi bias di pasar.

Kenaikan harga BBM bersubsidi berpotensi mendorong inflasi berantai sekitar 1,5 persen, otomatis BI Rate mengarah setidaknya ke 6,5 persen. Virus inflasi yang tinggi juga akan menyebabkan rupiah terdepresiasi dan membebani eksposur utang luar negeri.

Now or never, pemerintah harus mengambil tindakan, karena masuk bulan Juni hingga Agustus adalah ‘satu kuartal’ yang menjadi momok menakutkan berkumpulnya faktor pendorong inflasi (liburan sekolah, Puasa, Lebaran dan pengumuman daftar calon tetap anggota dewan). Yang perlu diingat adalah sumber inflasi saat ini bukanlah fenomena moneter.

Utamanya, investor pasar modal hanya perhatian terhadap dua hal, yaitu keuntungan dan risiko. Adapun dua hal lain yang sangat berpengaruh pada ekspektasi pergerakan pasar adalah inflasi dan ketidakpastian. Ketidakpastian adalah faktor lain di luar risiko. Selain emiten, investor juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian karena ekses kenaikan IHSG di atas harga wajarnya secara fundamental adalah ilusi pasar modal yang berjalan menyimpang dengan apa yang terjadi pada data ekonomi.

Ada perbedaan yang besar antara sentimen yang ada di pasar modal dengan yang ada di ekonomi riil. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dan inflasi yang meningkat tidak terlalu mengkhawatirkan selama kualitas ekonomi, terutama ruang fiskal, tetap terjaga dengan baik hingga menyentuh akar rumput sektor riil secara berkelanjutan sehingga menumbuhkan kepercayaan investor, terutama radar para manajer investasi global.

IHSG sudah naik sebesar 350 persen sejak titik terendahnya di 2008 seiring ekonomi yang mencatatkan pertumbuhan 6 persen selama lima tahun tersebut. Namun di ketinggian IHSG saat ini, pletora angin dari depan begitu kencang menerpa, selain risiko retorika ekonomi politik di penghujung tahun ini.

Ada kabar baik di bulan Mei ini, secara historis bahwa dalam satu abad  terakhir, didapati ada delapan kejadian di mana penembusan rekor bursa saham global tidak diikuti oleh penurunan yang signifikan dalam satu semester ke depannya, salah satunya yaitu di bulan Mei 1972.

Tentunya, catatan sejarah tersebut hanyalah proksi probabilitas, bukan deterministik untuk diikuti dengan semakin giat membeli, karena ingat bahwa bursa saham yang sedang berlangsung saat ini adalah pasar di mana fundamental tak lagi menentukan, di sisi lain volume global terus dalam tren negatif. Jadi kenaikan yang ada hanya alasan semantik berupa likuiditas, bukan fundamental ekonomi.

Saat ini, pelaku pasar sedang terjangkit "sindrom katak mendidih" di dalam "pasar saham yang sedang vertigo", di mana investor berada dalam kondisi gabungan antara takut beli pada harga yang tinggi dan rasa rakus, takut bila tidak membeli dan harga ternyata masih naik, serta di lain sisi investor secara reaktif adiktif tetap membeli saham menanggapi entropi dengan menyesuaikan diri dengan tren naik pasar bahkan sampai titik yang ekstrim sekalipun yang akhirnya dapat membuat merah portofolio mereka.

Saat ini, IHSG masih dalam perjalanan tren naiknya dalam jangka menengah, dengan target jangka pendek ke 5.115. Bila dalam 15 hari terakhir di bulan ke lima ini tidak melewati level 5.152, maka IHSG punya paparan risiko untuk bergerak ke target koreksi terdekatnya di 4.882-4.770, bersiaplah untuk berlibur musim panas di bulan Juni.

David Cornelis
Head of Research, KSK Financial Group

(Widi Agustian)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement