Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Solusi Mengatasi Krisis Merpati

Koran SINDO , Jurnalis-Rabu, 12 Februari 2014 |09:30 WIB
Solusi Mengatasi Krisis Merpati
(Foto: Merpati Air)
A
A
A

SUNGGUH menyedihkan ketika mendengar PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati) menghentikan operasional penerbangan sejak Sabtu 1 Februari).

Hal serupa juga terjadi pada Mandala Airlines, tiga tahun lalu, tepatnya 13 Januari 2011. Bagaimana mengatasi krisis yang dialami Merpati? Sejatinya, bukan hanya Merpati yang bermasalah. Ada beberapa maskapai penerbangan nasional lainnya berguguran. Tengok saja PT Sempati Air Transport berhenti beroperasi pada Juni 1998.

Menyusul Bouraq yang berhenti pada 2004, Adam Air pada 18 Maret 2008, Jatayu Airlines pada April 2008, dan Batavia Air pada 31 Januari 2013. Mengapa maskapai- maskapai itu rontok? Selama ini Merpati mengalami risiko operasional. Risiko operasional merupakan risiko yang berkaitan dengan operasional bisnis yang meliputi dua komponen.

Pertama, risiko kegagalan operasional (operational failure risk) atau risiko internal terdiri atas risiko yang bersumber dari sumber daya manusia, proses dan teknologi. Kedua, risiko strategi operasional (operational strategic risk) atau risiko eksternal yang berasal dari faktor, yakni politik, pajak, regulasi, pemerintah, masyarakat, dan kompetisi.

Sebagai perbandingan, waktu itu Mandala menderita risiko operasional yang bersumber dari regulasi. Regulasi menitahkan maskapai penerbangan harus sanggup mengoperasikan 10 pesawat dengan lima milik. Lima pesawat bisa berasal dari sewa guna usaha. Celakanya, Mandala tidak mampu memenuhi regulasi itu karena kelima pesawat itu ditarik pemiliknya mulai 13 Januari 2011.

Bagaimana dengan Merpati? Merpati menderita risiko operasional lantaran manajemen tidak mampu mengelola maskapai penerbangan tersebut. Apakah hanya itu? Tidak. Merpati juga menghadapi risiko likuiditas berupa utang Rp6,7 triliun yang kemudian membengkak menjadi Rp7,3 triliun pada Februari 2014.

Kisah itu belum usai. Merpati akan menderita potensi reputasi kalau kedua risiko operasional dan likuiditas itu tidak cepat terselesaikan. Risiko reputasi merupakan risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang bersumber dari persepsi negatif. Risiko itu lahir antara lain karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai suatu perusahaan yang bersifat negatif serta strategi komunikasi yang kurang efektif. Risiko reputasi itu akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat diatasi.

Aneka Alternatif Solusi

Itulah tiga risiko yang dihadapi oleh Merpati dewasa ini. Dengan demikian, alternatif solusi apa saja yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi kemelut Merpati? Pertama, membentuk tim khusus. Mau tak mau, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib membentuk tim khusus untuk menyelesaikan Merpati.

Paling praktis ketika hal itu diserahkan kepada Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sehingga tidak terlalu banyak tim. PPA dapat diberi tugas khusus untuk menyelesaikan semua masalah Merpati mulai dari masalah ”sederhana” seperti biaya pengembalian tiket penumpang, gaji pegawai, biaya avtur, asuransi, hingga masalah pelik yakni utang Rp7,3 triliun.

Kedua, mengambil pakar perbankan. Sangat disarankan pemerintah mau mengambil pakar perbankan untuk memperbaiki, membangun kembali dan mengembangkan Merpati. Mengapa dari industri perbankan? Sebab, bankir sudah amat terlatih bekerja di tengah berbagai aturan yang ketat (highly regulated). Lihat saja perkembangan Garuda Indonesia yang melesat di tangan Emirsyah Satar. Begitu pula Kereta Api Indonesia (KAI) di bawah komando Ignasius Jonan.

Mereka berdua memperoleh penghargaan sebagai ”Akuntan of The Year 2013”. Ingatlah, kedua tokoh itu berasal dari dunia perbankan. Adalah best practices bagi bankir untuk mampu bekerja dengan target terukur (measurable), masuk akal (reasonable) dan menantang (challenging). Habitat semacam itu akan mengantar Merpati kokoh kembali, bahkan mampu bersaing dengan pesaing yang lebih besar seperti Garuda.

Ketiga, melakukan restrukturisasi kredit. Selain itu, sudah sepatutnya Merpati mengajukan restrukturisasi kredit kepada kreditor. Tentu saja, Merpati harus lebih dulu menyusun rencana bisnis (business plan) minimal satu hingga tiga tahun ke depan. Restrukturisasi kredit itu sangat penting dan mendesak saat ini sebagai salah satu jalan keluar dari risiko likuiditas. Keempat, mengundang investor.

Sekiranya pemerintah tidak berminat menyuntik dana segar seluruhnya, Merpati dapat mengundang investor lokal dan asing. Namun, jangan memberi kesempatan kepada investor asing untuk menguasai mayoritas kepemilikan saham Merpati sehingga pemerintah masih bertindak sebagai pemegang saham pengendali. Tawaran kepada investor asing itu pasti akan memperoleh sambutan hangat.

Kok bisa? Itu karena peluang bisnis penerbangan domestik masih terbuka lebar meskipun Merpati hanya melayani rute penerbangan pendek. Berbekal aneka alternatif solusi tersebut, Merpati amat diharapkan mampu terbang lebih tinggi dan lebih jauh!

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI

(Widi Agustian)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement