BALIKPAPAN - Booming tambang yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) pada 2004 silam hingga kini ternyata berdampak pada kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang besar-besaran.
Kerusakan lingkungan ini memberi efek negatif yang sangat besar bagi perkembangan Ekowisata di Kaltim khususnya di Kabupaten Kukar dan Kubar. Jumlah pengunjung ekowisata terus mengalami penurunan secara drastis sejak 2005 silam.
"Turis Eropa yang suka ekowisata merasa dibohongi setelah datang ternyata lubang tambang di mana-mana. Mereka menilai kerusakan lingkungan ini parah. Dan menjadi kampanye negatif karen turis kirimkan kabar ke rekan ini langsung tersebar kemana-keman," ungkap Ketua Asita Kaltim Joko Purwanto di sela-sela Persiapan Musda Asita Kaltim, di Benakutai Hotel, Balikpapan, Jumat (27/4/2012).
"Dari pada mereka datang ke sini yang ditemukan kekecewaan. Kalau orang kecewa nulis dan bicara kemana-mana akan menjadi boomerang bagi kita (Kaltim) dan ini sudah mereka sampaikan. Saya menilai memang ekowisata kita telah mati suri," sambungnya.
Ia mengatakan, pada 2004 lalu jumlah wistawan yang berkunjung ke pedalaman di Kaltim mencapai 20 ribu. Tapi kini terus mengalami penurunan. Bahkan hingga April 2011, jumlah pengunjung sekira 1.000 hingga 500 pengunjung.
"Daerah yang kerusakannya paling parah terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Kutai Barat. Terutama saat masuk jalur Sungai Mahakam. Di Kutai Kertanegara bahkan jalur sungai Mahakam ponton pengakut batubara yang terlihat," kata Joko Purwanto.
Begitu juga kata Joko, saat menempuh jalan darat, para wisatawan banyak menemukan hal yang sama. Eksplorasi batu bara yang menyebabkan kerusakan lingkungan karena berlubang-lubang tanpa adanya reklamasi juga sangat disayangkan.
"Itu betul-betul pengerusakan lingkungan yang sangat berat," imbuhnya.
Menurut Joko, selama ini pihaknya hanya bisa menghimbau agar lingkungan tetap terjaga. Pasalnya, semua merupakan kewenangan pemerintah. Karena hanya pemerintah yang bisa mengeluarkan kebijakan.
"Kebijaksanaan itu adalah pemerintah. Dan kami pelaku pariwisata hanya bisa menghimbau, kalau pun sudah di eksplorasi, segera direklamasi sehingga tidak menimbulkan kerusakan alam yang cukup parah. Kalau ditinggalkan begitu saja akan menimbulkan dampak yang begitu luas," tukasnya.
Salah satu yang berdampak akibat menurunnya jumlah wisatawan ekowisata adalah pemilik-pemilik kapal diwilayah pedalaman yang selama ini mengantar para wisatawan mengunjungi obyek wisata yang ada di pedalaman.
"Pemilik-pemilik kapal merasakan sangat sepi dan berharap pemerintah mau membenahi hal tersebut. Ekowisata di Kaltim banyak khususnya di pedalaman seperti taman anggrek, rumah-rumah, adat, riam-riam di sungai Mahakam dan tanabang," imbuhnya.
Dia menambahkan, jika kondisinya terus begini tanpa ada reaksi dari pemerintah kemungkinan para wisatawan bisa beralih ke daerah lain, seperti di Kalimantan Tengah, yang menjual orangutan. Karena potensinya cukup bagus.
"Jadi saya memang, kalau kita tidak membenahi lingkungan dari eklpoitasi SDA kita. Peluang ekowisata ini sekarang diambil bisa diambil oleh Kalteng atau Kalsel," tukasnya.