MEDAN - Tingginya curah hujan di wilayah utara Indonesia sejak awal tahun, menyebabkan produksi karet di Sumatera Utara menurun cukup signifikan. Tercatat di triwulan I-2012, produksi karet Sumut hanya sebesar 118.996.966 kilogram (kg). Jumlah ini menurun sekira 18 persen dibandingkan posisi triwulan I-2011, yang mencapai 144.764.788 kg.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara Edy Irwansyah mengatakan cuaca sangat erat kaitannya dengan tingkat produksi. Tingginya curah hujan membuat proses penderesan menjadi tak maksimal, karena getah karet terbawa oleh aliran air hujan. Kondisi ini pun mampu membuat angka produksi jatuh hingga 50 persen hingga akhir tahun, jika kondisi cuaca tak kunjung berubah.
"Cuaca itu cukup berpengaruh terhadap produksi, terutama pada saat hujan datang. Petani tidak dapat memanen, karena bila tetap dipaksa, karetnya akan bercampur dengan air," ucapnya
Edy juga mengatakan, penurunan kapasitas produksi itu diperparah dengan penurunan harga. Hingga 11 Mei 2012, harga rata-rata technical spesified rubber (TSR) 20 tercatat USD344,4/ton, saat itu harga bahan olahan karet (BOKAR) di tingkat pabrik, antara Rp27 ribu-Rp30 ribu. Padahal di posisi April 2011 sempat tercatat harga TSR 20 mencapai USD497.07 per ton dengan harga BOKAR mencapai Rp37.700-Rp39.700.
Menurut Edy penurunan harga itu disebabkan karena menurunnya permintaan di tengah melemahnya perekonomian dunia, serta ketidakpastian pemulihan ekonomi di Eropa. Di samping itu penurunan harga minyak dunia pun ikut menyeret harga karet ke titik yang cukup dalam.
"Kondisi internasional menjadi penyebab utama penurunan harga karet ini, meski Uni Eropa bukan importir utama karet Indonesia, namun sentimennya negatif pasar akibat krisis di Eropa berdampak pada pasar karet kita. Ironisnya, penurunan harga karet itu membuat aktifitas penyadapan petani ikut menurun. dan menurunkan kapasitas produksi," tambahnya.
Petani pun dipastikan menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kondisi itu, sementara pabrik karet sebagai industri pengolahan masih mendapatkan keuntungan meski relatif sama dari hari ke hari. Kondisi ini juga dirasakan di dua negara tetangga penghasil karet lainnya, yaitu Thailand dan Malaysia.
"Sekira 80 persen kebun karet itu kan perkebunan rakyat, jadi penurunan harga ini paling dirasakan oleh masyarakat. Kalau pabrik pengolahan karet kan hanya memanfaatkan selisih, jadi masih mendapatkan keuntungan, meski cenderung stagnan. Kalau harga terlalu tinggi pengusaha juga kewalahan, karena kapasitas modal yang tidak memadai," bebernya.
Over Taping
Edi mengatakan ada kecenderungan yang sedikit aneh di kalangan petani di Sumut, saat harga tinggi para petani nekat melakukan over taping atau penyadapan berlebihan, guna mendapatkan produksi karet yang lebih banyak. Padahal kondisi itu dapat merusak tanaman dan memberikan kerugian serta ancaman terhadap pasokan karet Sumatera Utara.
"Ada yang unik di Sumut ini, petani nekat melakukan penyadapan berlebihan, padahal bisa merugikan dan mengancam keberlangsungan kebunnya sendiri," pungkasnya.