MENGAKHIRI semester I-2013, kinerja pasar saham Indonesia melalui Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terbilang kurang maksimal di mana hanya mencetak 11,63 persen.
Padahal, selama perjalanan dalam enam bulan tersebut, IHSG sempat mencetak rekor tertinggi di level 5.214,98 per 20 Mei 2013 atau dengan torehan 20,81 persen dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2012. Menyusutnya torehan kinerja tersebut terjadi karena koreksi cukup signifikan yang terjadi selama Juni 2013 di mana IHSG anjlok 4,93 persen dengan level terendah di 4.418,87. Sejumlah sentimen, terutama isu-isu global diperkirakan menjadi pengganjal laju IHSG dan bursa-bursa saham regional lainnya.
Dari isu-isu global, kekhawatiran investor tertuju pada sikap bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) yang berencana mengurangi besaran kucuran stimulus moneter melalui program Quantitative Easing (QE) tahap III yang berjalan sejak 13 September 2012.
Rencana tersebut muncul setelah melihat perkembangan ekonomi AS yang terlihat membaik, di antaranya tren angka pengangguran yang semakin turun ke level 7,6 persen per Juni 2013 dan indeks keyakinan konsumen yang terus meningkat ke posisi tertinggi dalam lima tahun terakhir di level 81,4 per Juni 2013. Tak hanya itu, kekhawatiran perlambatan ekonomi China juga turut menambah sentimen negatif di pasar, seperti indeks manufaktur PMI per Juni 2013 yang dirilis melambat ke level 50,1 dari periode sebelumnya di level 50,8.
Sentimen-sentimen domestik yang turut menekan diperkirakan berupa potret makroekonomi domestik yang cukup mengkhawatirkan, seperti inflasi tahunan yang terus merangkak naik mendekati 6 persen, masalah defisit neraca perdagangan yang mencapai rekor sebesar USD1,62 miliar per April 2013 yang turut menekan kurs rupiah terhadap dolar AS ke posisi terendah selama tiga tahun terakhir, hingga revisi asumsi ekonomi makro di APBN 2013 ke angka yang lebih pesimistis, di antaranya seperti pertumbuhan ekonomi 2013 yang direvisi turun dari 6,8 persen menjadi 6,2 persen dan inflasi yang dinaikkan dari 4,9 persen menjadi 7,2 persen.
Akibat terpaan sentimen negatif tersebut, aliran dana investor asing pun juga tidak tanggung- tanggung hengkang dari pasar saham domestik. Tercatat, akumulasi transaksi bersih investor asing yang sempat menyandang status pembelian bersih (net buy) mencapai rekor tertinggi di level Rp19,07 triliun per 1 Mei 2013, berubah menjadi penjualan bersih (net sell) sebesar Rp8,46 triliun di akhir Juni 2013.
Kondisi itu terjadi di tengah aksi jual investor asing sepanjang Mei dan Juni 2013 dengan total mencapai Rp27,14 triliun. Pada investasiobligasi, kinerja pasar obligasi pemerintah (surat utang negara/SUN) melalui Infovesta Government Bond Index (IGBI) yang mencerminkan rata-rata pergerakan harga SUN berakhir tertekan sepanjang semester I-2013 dengan torehan 3,70 persen setelah melewati perjalanan yang cukup fluktuatif di mana koreksi terdalam terjadi sepanjang Juni 2013 sebesar 3,12 persen.
Tertekannya kinerja pasar SUN terlihat pada pergerakan imbal hasil (yield) SUN tenor 10 tahun yang melonjak drastis mencapai level 7 persen atau melampaui titik tertinggi satu tahun terakhir menyusul sejumlah sentimen negatif, terutama dari potret makroekonomi domestik yang cukup mengkhawatirkan, seperti tren kenaikan inflasi yang membuat berakhirnya era suku bunga rendah setelah suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI) masing- masing naik 25 basis poin menjadi 6 persen dan 4,25 persen.
Tren kepemilikan investor asing pada SUN pun cenderung turun dan berakhir di level Rp282,96 triliun per akhir Juni 2013 atau tergerus Rp23,64 triliun dari rekor tertinggi di level Rp306,6 triliun per 16 Mei 2013. Hal tersebut juga diperkirakan turut menekan kinerja pasar SUN mengingat porsi kepemilikan investor asing di SUN mencapai 33,82 persen per akhir Mei 2013.
Menyikapi kondisi ini, aspek fundamental yang menjadi dasar investasi untuk jangka panjang harus menjadi pegangan utama. Artinya, investor tidak perlu ikut terlalu khawatir terhadap kondisi pasar saham maupun obligasi saat ini yang masih terlihat cenderung turun (tren bearish) di tengah tekanan ketidakpastian sentimen global maupun domestik ke depan.
Dari prospek ekonomi dalam negeri, secara fundamental jangka panjang relatif cukup kuat karena ditopang oleh sektor Konsumsi dan Investasi yang masing-masing berkontribusi 62,45 persen dan 32 persen terhadap pertumbuhan ekonomi per kuartal I-2013.
PRASKA PUTRANTYO
Research Analyst www.infovesta.com
(Widi Agustian)