Krisis 1997-1998 diawali krisis moneter (populer dengan singkatan krismon) yang menghantam sektor perbankan. Dikarenakan tidak terealisasi dan berkepanjangan, krisis itu bereskalasi menjadi krisis ekonomi, yang juga gagal ditangani. Hingga kemudian menjadi krisis multidimensi yang menimbulkan gejolak sosial politik.
Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, perekonomian Indonesia nyaris ambruk.
"Aparat negara, terutama di Jakarta, seolah lumpuh layu sampai tidak sanggup mencegah dan menangani amuk massa yang beringas dan membakar gedung-gedung bisnis dan perkantoran, mobil-mobil di jalan, hingga penjarahan toko-toko dan pusat perbelanjaan," ujar Sigit dalam bukunya bertajuk 'Mimpi Punya Bank Besar'.
Bankir senior ini mengisahkan, pada mulanya krisis 1997-1998 merupakan bagian dari krisis finansial Asia. Krisis tersebut awalnya disebabkan ketidakseimbangan neraca pembayaran internasional. Ketika itu total utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) mencapai USD130 miliar, jauh di atas cadangan devisa yang hanya sekira USD21 miliar.
Di tambah lagi sebagian utang luar negeri swasta yang jangka waktunya pendek secara bersamaan jatuh tempo. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki cadangan devisa USD38 miliar dengan utang luar negeri USD90 miliar, akibatnya terjadi ketidakseimbangan suplai dan demand valuta asing.
Pemerintah Thailand kemudian mendevaluasi mata uang Bath pada 1 juli 1997. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bank Indonesia, dengan kondisi miss match yang kurang lebih sama dengan Thailand, melebarkan pita intervensi (intervention band) sehingga rupiah lebih fleksibel. Pemerintah juga menaikkan suku bunga. Di luar dugaan, hasilnya justru menimbulkan kepanikan luar biasa. (Bersambung)
(Rizkie Fauzian)