SURABAYA - Para pelaku usaha mebel dan kerajinan saat ini masih nyaman dengan pasar ekspor tradisional, seperti Amerika, Eropa dan Australia. Agar tidak sangat bergantung, mereka harus berani menjajal pasar baru untuk ekspor.
Ketua DPD Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Jawa Timur (Jatim), Nur Cahyudi mengatakan, pasar potensial non-tradisional, di antaranya negara-negara di kawasan Timur Tengah. Kawasan ini potensial karena perekonomiannya sedang tumbuh pesat. Nur Cahyudi berpendapat, untuk menggarap pasar non-tradisional perlu campur tangan dari pemerintah.
Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, setiap duta besar telah diarahkan menjadi agen pemasaran di negara masing-masing.
“Pasar non-tradisional tersebut belum ada kompetitornya saat ini. Nah , itu kan peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah harus bisa memfasilitasi dengan mengadakan pameran-pameran mebel di negara-negara ini,” katanya.
Lebih jauh Nur Cahyudi menjelaskan, soal kualitas produk Indonesia tak kalah dengan negara- negara lain, seperti Malaysia dan Vietnam yang menjadi kompetitor untuk wilayah ASEAN. Meski begitu inovasi tetap penting. Produk mebel harus terus diperbaharui. Model dalam industri mebel sama dengan industri fashion yang cepat berubah. Minimal setiap dua tahun harus ada model baru agar pasar tetap bergairah.
“Maka R and D (research and development) harus dikuatkan. Pemerintah juga harus turut dalam penguatan R and D ini. Tentu bertujuan membantu pengusaha mebel skala kecil. Kalau pengusaha skala menengah dan besar biasanya sudah ada R and D-nya,” ujarnya. Pengusaha mebel skala kecil, kata Nur Cahyadi, biasanya hanya meniru.
Padahal sudah waktunya setiap pengusaha harus mampu berinovasi membuat produk mebel yang unik, modern, bisa pula tradisional, atau menggabungkan keduanya. Model mebel ini akan terus berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan gaya hidup masyarakat. Hal tak kalah penting, lanjut Nur Cahyudi, industri mebel juga harus berkontribusi pada masyarakat.
Artinya industri ini harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masyarakat sekitar industri berada. “Namun yang paling penting, industri mebel harus berwawasan lingkungan. Jangan hanya mengejar keuntungan semata. Pengusaha mebel harus sensitif terhadap isu-isu lingkungan. Misalnya jangan sampai menggunakan bahan kayu yang ilegal,” katanya.
Di sisi lain, Nur Cahyadi meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan industri mebel. Apalagi pemerintah menargetkan ekspor produk mebel mencapai USD5 miliar per tahun, naik dua kali lipat dibandingkan dengan target tahun 2015 yang hanya sekitar USD2,2 miliar per tahun.
“Kontribusi Jatim terhadap total ekspor mebel cukup besar, yakni sekitar 60 persen. Kami akan coba pertahankan di angka itu,” kata dia.
Wakil Ketua II DPD AMKRI Jatim Halim Rusli menyatakan, sumber bahan baku yang melimpah dan sumber daya manusia banyak merupakan keunggulan Indonesia dalam industri mebel dibanding dengan negara lain. Dalam aspek produk, keunggulan Indonesia, yaitu produk dibuat dengan sentuhan tangan langsung, berbeda dengan mebel luar negeri yang sudah menggunakan teknologi canggih.
Cita rasa seni dari sentuhan tangan tidak akan bisa tergantikan mesin. Namun, dia tetap menekankan pentingnya inovasi model produk. “Untuk model memang harus update dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar global. Sebab perubahan model furnitur sangat cepat. Kami tentu tidak bisa membuat model yang semau gue dan harus menyesuaikan luar negeri,” katanya.
Wakil Ketua I DPD AMKRI Jatim Peter Tjioe meyakini industri mebel tidak akan pernah mati. Industri mebel akan tetap tumbuh sejalan dengan pertumbuhan properti. Baginya potensi pasar mebel tetap terbuka luas, tidak ada masalah. Justru yang menjadi masalah saat ini, yaitu ada oknum-oknum yang membuat suasana kerja di pabrik menjadi tidak nyaman. (dan)
(Rani Hardjanti)