SEMARANG - Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang dinilai menjadi salah satu sebab terjadinya banjir rob di kota ini. Tata ruang wilayah itu dinilai tidak sesuai dengan teori atau kaidah aliran air secara hidrologis sehingga RTRW harus segera diubah.
Robert J Kodoatie, akademisi Fakultas Teknik Sipil Undip Semarang mengatakan, daerah imbuhan yaitu Semarang atas pada RTRW Kota Semarang ditetapkan sebagai kawasan budi daya atau permukiman. Padahal, seharusnya daerah itu sebagai kawasan hijau atau lindung karena merupakan daerah pengisian air tanah. Akibatnya, ketika hujan air langsung lari ke tempat lebih rendah.
“Jadi, tanah itu ada daerah imbuhan, transisi, dan lepasan. Semuanya merupakan daerah resapan air, tapi yang bisa menimbun air itu daerah imbuhan seperti Tembalang, Banyumanik, sebagian Gunungpati, Mijen dan lainnya,” paparnya
Eksekutif dan legislatif dinilai sejak awal memang telah salah merumuskan RTRW hingga ada menimbulkan kesulitan penanganan banjir rob. Dengan menetapkan daerah imbuhan sebagai kawasan permukiman, para pengembang berbondong-bondong membangun perumahan di kawasan atas. Padahal perumahan mengakibatkan air tanah berkurang dan tanah akan menjadi kritis hingga rawan banjir.
“Daerah imbuhan itu jangan dibangun perumahan, nanti kekurangan air tanah. Air tanah adalah air yang terdapat pada lapisan tanah atau batuan yang lolos air di bawah muka tanah,” katanya.
Penanganan banjir dengan membangun banyak embung juga dinilai salah karena Semarang 90 persen wilayahnya merupakan Cekungan Air Tanah (CAT). Ada rongga dalam bawah yang air bisa masuk. Seharusnya yang dibangun adalah waduk-waduk air tanah.
Pembangunan Waduk Jatibarang juga tidak cocok karena nantinya akan terjadi sedimentasi. Adapun pembangunan kolam retensi di daerah Semarang bawah yang langganan banjir itu bisa dilakukan. Namun, hal itu pemeliharaannya juga mahal karena harus menggunakan pompa air.