Menurut dia, ada waktu 90 hari sejak diterimanya surat itu yakni 1 November 2017 saat putusan itu berlaku efektif. “Jadi efektif mulai 1 November 2017, pasal-pasal yang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum lagi,” ungkapnya
Konsekuensi Teknologi
MA mengabulkan gugatan uji materi Permenhub 26/2017 yang dilayangkan sedikitnya enam pengemudi angkutan sewa khusus. Dalam putusan Nomor 37 P/HUM/2017 tanggal 20 Juni 2017, 14 poin dalam PM 26 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah serta UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Oleh MA ke-14 poin ini telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan memerintahkan kepada Menhub untuk mencabut pasal-pasal yang terkait dengan 14 poin dalam peraturan menteri tersebut Di antara ketentuan yang dicabut itu adalah Pasal 5 ayat (1) huruf e yang menyebutkan bahwa pelayanan Angkutan Taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib memenuhi pelayanan tarif angkutan berdasarkan argometer atau tertera pada aplikasi berbasis teknologi informasi.
Ketentuan krusial lain yakni Pasal 66 ayat 4 yang menyebutkan, sebelum masa peralihan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) menjadi atas nama badan hukum, harus melampirkan perjanjian yang memuat kesediaan STNKB menjadi badan hukum dan hak kepemilikan kendaraan tetap menjadi hak perorangan. Majelis hakim yang dipimpin Supandi menyatakan, keberadaan taksi online merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi dalam bidang transportasi.
Keberadaan taksi online juga membantu masyarakat karena menawarkan pelayanan yang lebih baik, jaminan keamanan perjalanan dengan harga yang relatif murah dan tepat waktu. Majelis hakim juga berpendapat, taksi online telah mengubah persaingan usaha di bidang transportasi umum menjadi lebih sehat. “Dengan memanfaatkan keunggulan pada sisi teknologi untuk bermitra dengan masyarakat pengusaha mikro dan kecil dengan konsep sharing economy yang saling menguntungkan dengan mengedepankan asas kekeluargaan,” kata Supandi.
Picu Keresahan
Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengaku kecewa dengan keputusan MA. Dari 14 poin tersebut, mayoritas memiliki acuan hukum tertinggi yakni UU dan peraturan pemerintah (PP). Dia pun mendesak agar Kemenhub segera merumuskan revisi peraturan yang dapat mengayomi semua pihak. Jika tidak, dirinya khawatir gesekan kembali terjadi antara pengemudi taksi reguler dan online.
Baca Juga:
Tarif Taksi Online Batal Diatur, Pengemudi dan Pengguna Malah Rugi?
Ingat! Peraturan Taksi Online Terbaru Diberlakukan Akhir Tahun
“Kalau tidak ada aturan ya semakin kacau. Cepat atau lambat pasti akan ada perlawanan, khususnya sopir angkutan umum yang resmi mengikuti aturan,” ungkapnya. Ketua Organda Adrianto Djokosoetono berharap ada revisi peraturan yang jelas sehingga bisa mengakomodasi kepentingan kedua pihak secara berkeadilan. Dengan demikian, berbagai perbedaan kepentingan dapat disingkirkan. “Kalau seperti saat ini (aturan dicabut) bisa memicu keresahan di antara dua pihak,” ucapnya.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai majelis hakim MA semestinya berpikir lebih realistis dengan mempertimbangkan faktor sosiologis yakni keberagaman masyarakat Indonesia. “Pada prinsipnya, transportasi orang harus mengandung unsur selamat, aman, dan nyaman. Sementara online adalah sistem, bukan berlaku sebagai operator transportasi yang mengatur segalanya melebihi kewenangan regulator transportasi,” paparnya.
Adapun pengamat transportasi dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menilai taksi konvensional perlu lebih inovatif dalam menjalankan usaha untuk bisa bersaing dengan taksi online. Menurutnya, keberadaan taksi online mampu memberi fasilitas yang murah, aman dan cepat. Sementara taksi konvensional lebih mahal lantaran pembebanan biaya kredit unit mobil.
“Masyarakat butuh yang cepat, murah dan aman. Sementara, taksi konvensional masih pakai pola lama. Bisa tidak mereka berubah mematok harga lebih murah dengan cara mengurangi biaya lain-lain,” kata dia.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)