JAKARTA - Jauh sebelum merdeka tahun 1945, Indonesia mengalami masa penjajahan selama 3 abad. Indonesia dijajah, antara lain oleh Portugis, Inggris dan Belanda yang termasuk sekutu dari Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) atau VOC. Mereka melakukan monopoli perdagangan di Asia, terutama Indonesia karena dikenal sebagai negara surga rempah-rempah.
Rempah-rempah diincar karena tidak bisa tumbuh begitu saja di negara lain dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dan keuntungan yang dapat. Atas dasar itulah mengapa para penjajah khususnya dari beberapa negara di benua Eropa melakukan eksplorasi ke benua Asia.
Baca juga: OKEZONE WEEK-END: Punya Kedai Kopi, Jangan Lupakan Peran Penting Supplier
Kelompok rempah-rempah yang paling banyak diburu, antara lain lada, pala, vanili, kayu manis, cengkih dan jahe. Meski saat ini sudah merdeka, hingga saat ini nama-nama tersebut familiar bukan? Ya, rempah-rempah tersebut kerap menjadi bumbu dalam masakah khas Nusantara. Rempah-rempah bisa memberikan rasa aroma yang kuat di setiap masakan. Tidak hanya itu, rempah-rempah juga bisa menjadi obat serta bahan baku obat herbal.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat pertama produsen vanili dan cengkih dunia serta menduduki peringkat ke-2 produsen lada dan pala dunia di tahun 2014.
Baca juga: OKEZONE WEEK-END: Strategi Bisnis Bonus Secangkir Kopi demi Tarik Pelanggan Baru
Mengutip dari data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia juga berkesempatan untuk menjadi eksportir utama rempah dunia yang saat ini masih diduduki oleh India, Vietnam dan Tiongkok. Oleh karena itu, pengembangan ekspor yang terfokus menjadi sangat penting untuk dapat merumuskan strategi pengembangan ekspor serta upaya pembukaan akses pasar.
Komoditas prioritas yang menjadi fokus pengembangan ekspor adalah komoditas yang memiliki tren ekspor dan tren impor dunia bernilai positif, antara lain jahe, vanili, kayu manis dan lada.
"Sebagai produsen rempah, Indonesia memiliki peluang besar sebagai pemasok rempah dunia yang dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia," demikian seperti dikutip dari data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan.
Baca juga: OKEZONE WEEK-END: Cerita Howard Schultz Dirikan Starbucks, Sempat Ditolak dan Pilih Resign
Hingga saat ini, permintaan pasar komoditas rempah dunia terus meningkat. Selama periode 2011-2015, impor rempah dunia naik rata-rata sebesar 7,2% per tahun dengan nilai mencapai USD10,1 miliar di tahun 2015. Melihat kondisi tersebut, hingga saat ini rempah-rempah merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan mengingat pasarnya yang terus tumbuh, sementara negara produsen jumlahnya terbatas. Hanya negara yang memiliki iklim tropis basah yang dapat menjadi tempat budidaya rempah-rempah.
Komoditas rempah Indonesia memiliki daya saing yang cukup baik di pasar global. Indonesia menduduki peringkat ke-4 eksportir rempah dunia dengan pangsa 8,8% di tahun 2015, berada di bawah India, Vietnam dan Tiongkok
Di sisi perdagangan, rempah Indonesia masih menjadi salah satu komoditas yang telah mencatatkan surplus neraca perdagangan luar negeri sebesar USD801,1 juta di tahun 2015. Surplus tersebut meningkat signifikan dibandingkan dengan capaian tahun 2014 sebesar USD561,5 juta. Hampir semua komoditas rempah di tahun 2015 menyumbangkan surplus neraca perdagangan.
Baca juga: OKEZONE WEEK-END: Cuaca Tak Menentu, Eksport Kopi Jadi "Galau"!
Surplus rempah-rempah tersebut terus berlanjut hingga semester I 2016 mencapai USD192 juta, meskipun mengalami penurunan sebesar USD70,8 juta dibandingkan dengan capaian surplus semester I 2015. Penurunan surplus tersebut disebabkan oleh ekspor di 2016 yang melemah hingga 5,1% (YoY), sementara di sisi lain impor justru melonjak cukup signifikan sebesar 128,9% (YoY). Meskipun mengalami pelemahan ekspor selama semester I 2016,
beberapa komoditas rempah justru masih mengalami peningkatan, antara lain vanili, lada serta kunyit/temulawak
Pelemahan ekspor beberapa komoditas rempah di tahun 2016 merupakan kelanjutan dari penurunan ekspor yang terjadi di tahun 2015 untuk komoditas pala, jahe dan kayu manis yang disebabkan oleh permasalahan kualitas, seperti
yang terjadi pada beberapa kasus ekspor pala yang kemungkinan tercemar oleh aflatoxins sehingga tidak dapat masuk ke pasar Uni Eropa (Bisnis Bali, 2015).
Secara keseluruhan, lada, kayu manis dan pala merupakan kontributor utama ekspor Indonesia dengan pangsa masing-masing sebesar 62,8%; 12,4% dan 11,9% dari total ekspor rempah Indonesia di tahun 2015. Dari sisi impor, komoditas rempah yang berkontribusi terhadap peningkatan impor secara signifikan adalah cengkih yang impornya selama Januari-Juni 2016 naik sebesar 38.993,7% (YoY).
Data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan mengungkap, Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) menyatakan bahwa lonjakan impor komoditas cengkih yang sangat tinggi dipicu oleh keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.75/M-DAG/PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528/MPP/KEP/7/2002 Tentang Ketentuan Impor Cengkih yang menjadi bagian dari paket deregulasi dan debirokratisasi yang diluncurkan oleh pemerintah.
Dengan dikeluarkannya Permendag No. 75 Tahun 2015, praktis impor cengkih dapat dilakukan secara bebas, namun demikian regulasi tersebut hingga saat ini masih mengundang pro dan kontra. Bagi petani cengkih, pembebasan impor akan menekan harga dan pendapatan di tingkat petani. Dengan masuknya cengkih impor, diperkirakan harga dapat menyentuh angka Rp50.000 per kg dari harga saat ini sebesar Rp125.000 per kg.
Petani juga merasa khawatir bahwa bebasnya impor menyebabkan pelaku industri pengguna cengkih di dalam negeri lebih memilih cengkih impor daripada menggunakan cengkih petani lokal dikarenakan harga internasional yang
lebih murah. Sementara bagi industri, impor cengkih dibutuhkan sebagai bahan baku khususnya bagi industri rokok. Meskipun hingga saat ini masih terjadi perdebatan terkait regulasi pembebasan impor cengkih tersebut, neraca perdagangan cengkih tetap menunjukkan angka yang positif mencapai USD46,4 juta di tahun 2015.
(Fakhri Rezy)