Kondisi di Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga kini belum secara tegas menyatakan menolak penggunaan mata uang virtual Bitcoin. Namun, OJK juga belum memberikan sinyal memperbolehkan penggunakan Bitcoin untuk transaksi. Sampai saat ini, otoritas keuangan tersebut masih mendalami dampak positif dan negatif Bitcoin.
Sebelumnya Bank Indonesia (BI) menegaskan jika Bitcoin bukan merupakan alat pembayaran yang sah. Untuk itu, masyarakat diminta untuk berhati-hati jika menggunakan mata uang virtual ini.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, pihaknya sebagai otoritas mata uang di Indonesia menyatakan jika Bitcoin tidak masuk dalam kategori alat pembayaran yang sah. Oleh karena itu, penggunaannya diawasi secara ketat.
"Itu bukan alat pembayaran. Kalau mau nanya tentang Bitcoin perlu memahami posisi dari otoritas adalah mengarahkan itu bukan alat pembayaran yang sah," ujarnya. Menurut dia, penggunaan Bitcoin juga akan menimbulkan risiko bagi masyarakat. Karena itu, BI mengimbau masyarakat untuk menggunakan mata uang diakui oleh BI dan pemerintah.
Baca Juga: Bitcoin Meroket 55% Sepanjang November, Berhenti di USD9.600
"Saya mau menyampaikan, itu bukanlah alat pembayaran yang sah. Jadi semua yang akan mau menggunakan Bitcoin itu ada risikonya ya," tegas dia.
Sementara itu, David Shrier, akademisi dan CEO Distilled Analytics menuturkan, pihaknya sama sekali tidak ragu ada spekulasi yang terjadi dengan mata uang digital. Namun hal itu bukan hal buruk. "Ada cukup utilitas dan utilisasi Bitcoin sehingga akan mempertahankan nilai bahkan jika harganya berkurang. Amazon tidak sentuh level US$ 0 saat gelembung dotcom meledak demikian juga Bitcoin tidak akan sentuh posisi nol," ujarnya seperti dikutip CNBC, pekan lalu.
Dominic Williams, Ilmuwan DFNITY Project juga skeptis mengenai mata uang digital. Ada kemungkinan kecil proyek memegang initial coin offering (ICO) dapat sukses. ICO merupakan cara bagi perusahaan untuk mengumpulkan dengan imbalan uang konvensional dan digital. Hal ini berbeda dengan saham yang diberikan kepada investor. Namun sebagai gantinya bisa diperdagangkan dan digunakan untuk perusahaan.
"Sebagian besar telah diciptakan secara khusus dengan ambisi mengumpulkan uang dari investor yang antusias dari pada memberikan utilitas di dunia nyata," ujarnya.
Sementara itu, Ken Griffin, Pendiri dan CEO Citadel khawatir kalau beberapa investor mencampur Blockchain dan Bitcoin. Blockchain seperti buku besar digital yang dapat merekam transaksi. Ini teknologi dasar yang membuat mata uang digital untuk Bitcoin dan Ethereum. Menurut dia, banyak orang membelinya tapi tidak mengerti teknologi yang mendasarinya.
Shrier menuturkan, kalau dia tidak terlalu khawatir dengan mata uang digital yang turun akan hambat penerimaan bank. Bahkan ada spekulasi dapat membantu menarik sumber modal baru. Sedangkan Williams mengatakan, kalau mata uang digital yang bisa digunakan sehari-hari, nilainya harus stabil. Jika tidak maka tidak akan efektif untuk media pertukaran. "Nilai Bitcoin sangat volatile karena diciptakan terutama oleh interaksi permintaan spekulatif," ujarnya.
Dia khawatir tentang kemungkinan beberapa orang yang masuk mungkin membuat masalah sehingga membuat bitcoin sebagai skema pemasaran yang berbentuk piramida. Ini dapat membuat pembeli awal menjadi kaya, tetapi orang lain kehilangan banyak uang. "Hanya waktu yang akan mengatakannya," ujarnya.
(Rizkie Fauzian)