JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi salah satu pembicara dalam acara bertajuk Building The Middle Class: Inclusive Growth in East Asia and Indonesia, pagi ini di Soehanna Hall Energy Building SCBD Jakarta.
Acara tersebut merupakan bagian dari Voyage To Indonesia, rangkaian acara menjelang Annual Meetings IMF-World Bank di Bali tahun 2018 mendatang
“Indonesia memiliki peran besar dalam mengurangi kemiskinan di dunia. Saat krisis (1998) angka kemiskinan mencapai 24%, saat ini (2017) turun menjadi sekitar 11%,” ucap Sri Mulyani, yang dikutip dari akun twitter @KemenkeuRI, Senin (4/12/2017).
Baca Juga: Sri Mulyani Minta Kemendikbud Harus Tetapkan Mana Guru Berkualitas, Mana yang Tidak
Dia melanjutkan, kalangan menengah memegang peranan penting dalam perekonomian karena mereka menciptakan demand, dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
“Betapa pentingnya kelas menengah karena dapat mendorong pertumbuhan masa depan, membantu mengurangi kemiskinan, dan membuka lapangan kerja,” tambah dia.
Selain Menteri Keuangan yang menjadi pembicara, hadir juga Deputi IV Bappenas Pungky Sumadi, Former Minister of Finance M.Charib Basri, Former Minister of Trade Mari Elka Pangestu, Chief Economist East Asia and Pacific Sudhir Tetty, World Bank Country Directory Indonesia Rodrigo Chaves, dan Ekonomi Senior Bank Dunia Matthew Wai-Poi.
Sementara itu, menurut World Bank Country Directory Indonesia Rodrigo Chaves, Indonesia mempunyai kisah sukses tentang penduduknya, pasalnya saat 30 tahun lalu penduduk Indonesia dalam keadaan miskin sebesar 70%, sedangkan saat ini di bawah 7%.
Baca Juga: Jumlah Investasi Sama, Kok Kualitas Pendidikan RI Kalah dari Vietnam?
Namun, Indonesia masih mempunyai beberapa pekerjaan dan tantangan, yaitu apakah Indonesia bisa lolos dari perangkap kelas menengah dan menuju negara maju? Lalu apakah dapat mengatasi ketimpangan?
Rodrigo melanjutkan, kelas menengah memegang peranan penting dalam pembangunan, antara lain sebagai investor, penghasil lapangan kerja, dan inovator.
“Pasca krisis keuangan Asia tingkat kemiskinan Indonesia turun dari 24% (1998) jadi 11% (2017). Tapi tugas belum usai. Target jangka menengah: tingkat kemiskinan 7-8% di tahun 2019," jelasnya.
Meskipun begitu, pada sesi berikutnya diskusi mengenai pertumbuhan inklusif di negara kawasan oleh Chatib Basri, Mari Pangestu, dan Sudhir Shetty.
"Pendekatan masing masing negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik untuk menghindari middle income trap berbeda,” kata Mari Elka Pangestu.
Selain mengadakan pendekatan, lanjut Mari, harus juga mengubah cara pandang pembangunan dari berbasis sektor per sektor menjadi melihat ekonomi secara keseluruhan. Misal, pertanian tidak bisa lepas dari sektor tenaga kerja.
Akan tetapi, menurut Sudhir Setty memberikan cara agar rakyat yang kurang mampu dapat terlepas dari kemiskinan, yaitu melalui pendidikan.
"Kemiskinan di Malaysia dan Thailand sudah sangat rendah, tetapi mungkin Indonesia tidak bisa pakai cara yang sama karena kondisi sudah beda. Mungkin Indonesia bisa andalkan manufaktur dan jasa yang didukung infrastruktur dan human capital yg kuat,” lanjut M.Chatib Basri.
Kemudian, Ekonomi Senior Bank Dunia Matthew Wai-Poi mempresentasikan mengenai kelas menengah di Indonesia bahwa sebagai motor penggerak pertumbuhan karena menyumbang pajak, dan membuat lapangan kerja. Sebanyak 115 juta orang Indonesia adalah kelompok yang akan menjadi kelas menengah, mendapat sebutan Aspiring Middle Class.
(Dani Jumadil Akhir)