Pengetatan Impor Tembakau Dinilai Tidak Tepat

Koran SINDO, Jurnalis
Selasa 13 Februari 2018 11:39 WIB
Ilustrasi: (Foto: Reuters)
Share :

JAKARTA – Upaya pemerintah mengerem impor tembakau melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau, dinilai bukan kebijakan yang tepat oleh para pelaku industri rokok.

Dalam beleid tersebut, ada pembatasan impor tembakau jenis Virginia, Burley, dan Oriental. Padahal ketiga jenis tembakau ini dibutuhkan industri rokok, sedangkan hasil pertanian tembakau dalam negeri belum mencukupi. Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi mengatakan, produksi tembakau di dalam negeri saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan industri rokok nasional.

“Kalau keran impor itu dikurangi, pasokan tembakau akan turun. Kami pun tidak akan mendapatkan garapan dan ini efeknya akan besar,” kata Djoko dalam keterangannya di Jakarta, kemarin. Pengetatan impor tembakau, menurut Djoko, justru akan menciptakan dampak sistemik pada mata rantai tembakau di industri rokok.

 Baca Juga: Penyerapan Tembakau Lokal Tembus 84% di Surabaya

“Kalau mau menyejahterakan petani bukan dengan menutup keran impor, itu salah besar. Perintahkan kepada semua pabrik rokok untuk membangun program kemitraan, di jamin petani tembakau sejahtera,” ujarnya. Djoko menuturkan, impor tembakau masih dibutuhkan oleh industri rokok. Karena itu, dia mendesak pemerintah memperbaiki beleid pembatasan impor tembakau.

“Iya, itu masih jauh (aturan). Kenapa impor? Karena jumlahnya masih kurang,” ucap dia. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah produksi tembakau secara nasional hanya mencapai kisaran 190.000-200.000 ton per tahun. Angka tersebut jauh di bawah kebutuhan industri, yakni 320.000-330.000 ton per tahun.

Baca Juga: Pengetatan Impor Tembakau Ancam Penerimaan Negara

Untuk saat ini, kata Djoko, solusi untuk meningkatkan produksi tembakau nasional dengan cara membangun kemitraan. Pemerintah harus memberikan arahan kepada para pabrikan rokok yang sejauh ini belum melakukan kemitraan agar segera menjalin kerja sama dengan petani tembakau. Lebih baik lagi jika arahan itu dikuatkan dengan payung hukum.

“Jadi, pemerintah harus hadir di situ sehingga pabrikan bisa memberikan pembinaan yang baik,” katanya. Melalui program kemitraan, pabrik rokok bisa langsung mendiskusikan dengan para petani terkait besaran jumlah tembakau yang diperlukan untuk produksi dan kualitasnya. Dengan begitu, ketergantungan terhadap impor akan berkurang.

“Kalau begini, petani dan pabrikan rokok sejahtera. Pabrikan tetap jalan dan karyawan bisa terus bekerja. Semuanya enak,” ucap dia. Djoko juga mengatakan, selama ini tata niaga tembakau terlalu panjang karena banyaknya tengkulak.

Dengan bermitra, maka akan menghilangkan tengkulak yang selama ini membeli murah dari petani dan menjual mahal ke pabrikan. Anggota Pansus RUU Pertembakauan dari Fraksi Golkar Muhammad Misbhakun mengapresiasi kemitraan antara petani dan pabrik rokok di Surabaya, Jawa Timur, yang sudah berjalan selama puluhan tahun. Kemitraan tersebut terjalin dalam bentuk formal maupun informal.

“Industri hasil tembakau mendukung adanya pola kemitraan antara industri dan petani dengan perannya masing-masing atas prinsip saling menguntungkan,” ujarnya. Saat ini legislatif tengah menggodok RUU Pertembakauan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam draf beleid tersebut, pada Pasal 16 diatur tentang kemitraan petani dan pelaku usaha.

“Perlu dijaga keseimbangan isu dalam RUU Pertembakauan bahwa ini menyangkut masalah pemberdayaan petani tembakau supaya meningkat taraf hidupnya, harga keekonomian tembakau yang memadai dan menguntungkan, serta membangun pola kemitraan dengan industri sehingga terjadi kesinambungan proses saling menguntungkan,” kata Misbhakun.

(Rakhmat Baihaqi)

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya