Menyinggung soal biaya investasi (Capital Expenditure), pembangkit listrik EBT masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil. Misalnya, PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar USD4 juta/mw, jauh lebih mahal dibanding PLTU batu bara yang sekitar USD1,5 juta – USD2 juta/mw.
Perbedaan Capex ini disebabkan masing-masing komoditi ini berbeda cara memperolehnya, dan juga tingkat kesulitannya.
“Seperti listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi sudah memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah. Ketika Anda mengeksplorasi sebuah lapangan geothermal dan melakukan pengeboran, tingkat keberhasilannya tak lebih dari 20%,” papar Handoko.
Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS/ Solar Cell) sangat besar. Sebab untuk pembangunan PLTS dibutuhkan investasi sekitar Rp28 miliar, di mana komponen terbesarnya adalah pada biaya produksi panel surya dan baterai. Selain itu, PLTS juga membutuhkan area yang sangat luas.
PLTS hanya dapat beroperasi di siang hari, sehingga untuk mengimbanginya diperlukan juga dukungan dari pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil.
“Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan solar cell semakin masif, seiring dengan semakin majunya teknologi panel surya dan baterai,” tambahnya.
(feb)
(Rani Hardjanti)