JAKARTA - Pemerintah telah mewajibkan pengusaha untuk wajib menyetor Devisa Hasil Ekspor (DHE) batu bara ke bank di dalam negeri dalam skema Letter of Credit (L/C). Aturan tersebut berlaku sejak 5 September 2018 yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyatakan, bila perusahaan memiliki keluhan terkait hal tersebut untuk berkonsultasi dengan Bank Indonesia (BI). Di antaranya terkait keberatan dengan bunga yang dikenakan perbankan dalam negeri lebih mahal ketimbang perbankan di luar negeri, maupun sudah memiliki kontrak dengan bank luar negeri.
"Silakan saja ke (lapor) ke BI. Urusan devisa kan ke BI, bukan saya (Kementerian ESDM). Tanya BI," katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Selain itu, Bambang juga menegaskan berlakunya aturan ini tak diberikan masa transisi, sehingga perusahaan batu bara yang telah memiliki kontrak dengan bank di luar negeri untung menyetor DHE wajib membawa devisanya ke Tanah Air.
“Tidak ada masa transisi. Sudah diterapkan kan," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Sri Raharjo menambahkan, dalam aturan tersebut hanya berubah soal mekanisme pembayaran. "Perjanjian kan soal jual belinya, kalau ini kan mekanisme pembayarannya, dari yang tadinya ke bank asing sekarang ke bank yang diakui di Indonesia. Mekanismenya pembayarannya aja yang berubah," jelasnya.
Dia pun memastikan perusahaan yang tidak mematuhi aturan tersebut, nantinya akan dikenakan sanksi berupa pengurangan ekspor. Pengurangan pun akan disesuaikan dengan produksi batu bata pada perusahaan tersebut. “Kalau enggak ikuti di Kepmen ada pinaltinya loh, kalau enggak patuh, di sanksi," katanya.
Untuk pengawasan, pihaknya bekerjasama dengan BI, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Kementerian Perdagangan. Pengawasan juga akan dilakukan secara intensi, setidaknya dua minggu sekali.
“Tadi pagi kami rapat dengan BI untuk memastikan cara memonitor itu, melibatkan juga Ditjen Bea dan Cukai, dan Kemendag. Akan dipantau bulanan, tapi akan lebih bagus kalau dengan frekuensi lebih sering, dua minggu sekali. Kalau perusahaan diwajibkan melapor, kan pastinya kapan saja bisa masuk informasinya. Jadi real time,” pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)