Faktanya, kenaikan UMP sebelum PP 78/2015 terbilang cukup tinggi. Di tahun 2012, rata-rata kenaikan UMP tercatat 10,27%, tahun berikutnya kenaikan lebih besar lagi, yakni 18,32%. Setelah pemberlakuan PP 78/2015 tren kenaikan UMP cenderung turun. UMP 2016 silam naik 11,5%, kemudian 2017 naik 8,91% dan menurun lagi pada tahun ini yakni 8,71%.
Tingginya upah untuk kawasan padat karya tersebut, membuat beberapa industri memilih hengkang atau relokasi. Mereka mencari wilayah baru dengan UMP lebih rendah sehingga harga produk lebih kompetitif.
Ade memaparkan akibat fenomena relokasi industri itu, industri garmen di Karawang yang awalnya mencapai puluhan kini hanya tersisa tiga. "Industri hengkang dari situ karena tidak kondusif. Untuk produk yang sama dengan industri yang ada di Tasikmalaya, Majalengka, atau di Jawa Tengah" ujarnya.
Baca Juga: UMP DKI 2019 Rp3,9 Juta, Apakah Bisa Bertahan Hidup?
Untuk itu, pihaknya tengah berupaya meminta dispensasi kepada pemerintah terkait kenaikan UMP. Paling tidak, dalam kurun waktu satu tahun hingga industri bisa merelokasi tempat usahanya. Pihaknya mengajukan dispensasi dalam bentuk upah khusus atau upah padat karya.
"Harus ada moratorium (kenaikan UMP) untuk empat kabupaten itu, tapi moratorium adalah solusi yang mengundang risiko sehingga diperlukan istilah baru yaitu upah minimum padat karya," tutur Ade.
Menurut pengamat ekonomi FEB-UI Fithra Faisal Hastiadi, perkembangan upah yang cenderung dinamis belum diikuti dengan perbaikan produktivitas pekerja. Fithra menyebut ada kesenjangan cukup lebar antara pertumbuhan upah yang rata-rata di angka 8-9% per tahunnya dengan produktivitas pekerja yang masih di posisi 3%. "Kenaikan produktivitas tidak mendukung kenaikan upah sehingga segalanya menjadi lebih mahal buat industri dan mereka harus relokasi," ujarnya.
(Feb)
(Rani Hardjanti)