Sri Mulyani Bawa Oleh-Oleh Hasil Pertemuan G20

Yohana Artha Uly, Jurnalis
Minggu 02 Desember 2018 19:05 WIB
Foto: Wapres Jusuk Kalla dan Menkeu Sri Mulyani di G20 (Dok. Facebook Sri Mulyani)
Share :

JAKARTA – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tingkat pimpinan negara (leaders) telah berlangsung sepanjang 30 November 2018 hingga 1 Desember di Buenos Aires, Argentina. Selama dua hari para pemimpin negara-negara anggota G201 mendiskusikan sejumlah masalah ekonomi global.

Perwakilan Indonesia yakni Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Usai pertemuan tersebut, Bendahara Negara tersebut menyampaikan sejumlah kesepakatan yang dihasilkan dari pertemuan tahunan itu.

Sri Mulyani mengisahkan pertemuan G20 kali ini berbeda dari pertemuan pertama G20 tingkat pimpinan negara pada tahun 2008. Pada tahun itu, pertemuan berada ditengah situasi krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan perusahaan asuransi dunia AIG yang memicu kepanikan dan krisis keuangan seluruh dunia.

Baca Juga: Hasil KTT G-20 Tentukan Nasib Rupiah

“Sebagai Menteri Keuangan pada masa itu, saya melihat jatuhnya perekonomian Amerika Serikat menjalar ke Eropa yang menimbulkan kepanikan global. Semua negara di dunia berupaya melindungi perekonomiannya, melalui berbagai kebijakan yang tidak bisa (luar biasa). Bank Sentral Amerika Serikat (Fed) menurunkan suku bunga secara drastis dari diatas 5 persen menjadi mendekati nol persen, dan masih ditambah dengan Quantitative easing - injeksi likuiditas melalui pembelian surat berharga,” ujar Sri Mulyani seperti dikutip dalam laman akun resmi Facebook-nya, Minggu (2/12/2018).

Pemerintah AS melakukan talangan (bail out) ke sektor riil dari perusshaan mobil hingga properti dengan pembelian aset macet dan surat berharga. Inggris dan European Union (EU) melakukan hal yang sama yaitu melakukan penalangan bank yang gagal untuk menghentikan kepanikan publik dan menginjeksi sektor riil dengan ekspansi fiskal.

(Dok. Facebook Sri Mulyani)

Seluruh negara di dunia mengalami akibat krisis tersebut, di mana semua negara Asean, Australia dan Selandia Baru melakukan kebijakan “blanket guarantee” dengan menjamin penuh sektor perbankan untuk meredakan kepanikan dan ketidakpastian. Dalam situasi kepanikan global itu, terbentuklah forum G20 Leaders.

Pertemuan pertama G20 Leaders 2008 di Washington DC Amerika Serikat dan pertemuan kedua 2009 di London Inggris para pemimpin dunia bersepakat untuk bersama-sama menyelamatkan ekonomi dunia dari kehancuran dengan kebijakan moneter, fiskal dan mendorong sektor riil untuk mengembalikan stabilitas dan kembali mendorong pertumbuhan ekonomi. Fokus lain yang sangat penting adalah melakukan reformasi regulasi dan kebijakan sektor perbankan dan keuangan untuk menghindarkan krisis keuangan kembali terjadi.

“Pada tahun 2008, semua pemimpin negara G20 kompak sepakat menyelamatkan ekonomi dunia dengan kebijakan ekonomi satu arah dan saling mendukung, karena mereka percaya bahwa ekonomi global harus dijaga bersama,” katanya.

Indonesia, pada saat itu juga melakukan berbagai langkah startegis di bidang perbankan dan kebijakan fiskal yang supportif untuk menyelamatkan ekonomi domestik agar tak kena imbas negatif keguncangan ekonomi global. Pada akhirnya, Indonesia mampu keluar dari krisis itu dan termasuk dalam kategori sebagian kecil dari negara emerging yang masih memiliki pertumbuhan relatif tinggi dan stabilitas sektor keuangan tetap terjaga.

Kini sepuluh tahun berlalu, pertemuan G20 di Buenos Aires -Argentina berada dalam suasana yang berbeda. Menurutnya, kekompakan, kebersamaan dan kesepakatan bersama sepuluh tahun yang lalu antar negara, seperti menguap. Selain pemulihan ekonomi masih belum merata, kebijakan ekonomi antara negara semakin tidak sinkron dan tidak searah.

“Bahkan ketegangan terjadi akibat kebijakan konfrontasi perdagangan, normalisasi kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga The Fed yang tidak disukai oleh Presiden AS Trump. Sehingga hal ini menimbulkan arus modal keluar dan gejolak nilai tukar di negara emerging, harga komoditas terutama minyak bumi yang naik turun seperti roller coaster, dan persaingan kebijakan pajak yang berlomba saling menurunkan (race to the bottom),” jelas dia.

Baca Juga: Jelang KTT G-20, Pelaku Pasar Masih Wait and See

 Meski demikian, Sri Mulyani menilai ada kemajuan penting dicapai melalui forum G20. Reformasi regulasi sektor keuangan dan perbankan sudah dilakukan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya pemupukan resiko berlebihan di sektor keuangan. Selain itu ada kemajuan penting dalam kerjasama perpajakan antara negara dengan kerjasama memerangi penghindaran pajak melalui Base Erosion Profit Shifting (BEPS) dan Automatic Exchange of Information (AEOI), serta perpajakan ekonomi digital.

“Indonesia memanfaatkan kerjasama ini untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan basis pajak terutama pada kelompok “high wealth” yang selama ini mudah memanfaatkan tax haven dan kelonggaran regulasi antar negara,” katanya.

Namun, lanjut dia, banyak tantangan belum terjawab dan resiko besar masih melingkupi dan membayangi perekonomian dunia. Lonjakan utang di berbagai negara maju dan negara berkembang, juga kenaikan utang korporasi menimbulkan beban dan resiko ekonomi yang nyata.

(Dok. Facebook Sri Mulyani)

Dia menjelaskan, perang dagang antara negara melahirkan keinginan G20 untuk melakukan reformasi multilateral World Trade Organization (WTO). Tentunya, Indonesia harus menyiapkan materi dan posisi yang jelas, juga negosiator yang unggul dalam menghadapi era perang dagang bilateral dan melemahnya mekanisme solusi multilateral yang makin kompleks.

Selain itu juga kesiapan terkait ancaman dan peluang digital ekonomi terhadap kesempatan dan jenis kerja di masa depan terus menjadi perhatian G20, selain implikasinya terhadap kebijakan kenetagakerjaan, jaring pengaman sosial, dan perpajakan. Dunia akan semakin kompleks dan globalisasi serta kemajuan teknologi akan memberikan banyak kesempatan untuk maju dan mengejar ketertinggalan, namun juga menyajikan kerumitan dalam mengelola perekonomian dan sosial suatu negara.

“Indonesia harus makin keras dan cerdas dalam membangun perekonomian kita,” katanya.

Dia menilai, fokus Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur adalah hal benar guna pemerataan dan peningkatan produktivitas dan daya kompetisi negara kita. Kata dia, Indonesia tetap perlu membangun kapasitas anak-nak bangsa dalam memahami dan menghadapi globalisasi ekonomi, perubahan teknologi dan dinamika geo-politik yang makin rumit dan menantang.

“Ini tantangan yang harus dihadapi dan dijawab oleh generasi milenial kita. Apakah anda semua bersedia menjawab tantangan ini?,” tandasnya. (yau)

(Rani Hardjanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya