Ditambah, data makro pun kurang bersahabat. Tengok saja, pada April 2019 ekspor tercatat USD12,6 miliar atau turun 13,1% year on year. Sedangkan impor mencapai USD15,10 miliar atau turun 6,58%. Sehingga, neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 kembali mengalami defisit setelah dua bulan berturut-turut mencatatkan surplus. Tercatat neraca perdagangan RI pada April 2019 mengalami defisit USD2,50 miliar. Adapun neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2019 mengalami surplus USD0,54 miliar, meningkat dari USD0,33 miliar pada bulan Februari 2019.
Kondisi ini juga diperburuk meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika Serikta dan China.“Tidak bisa dihindari bahwa kenyataannya di dunia ini perang dagang masih jadi headline dimana-mana. Kalau Amerika masih batuk-batuk seluruh dunia kena termasuk di Indonesia. Jadi penyebabnya itu,” pungkasnya.
Baca Juga: IHSG Turun 14 Poin ke 5.812
Pihak BEI, lanjut Laksono, tentu juga khawatir tetapi bukan sebuah kejadian yang luar biasa. Oleh karena itu, menurutnya tidak ada alasan untuk panik. Sementara menurut mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio, sudah saatnya regulator berperan aktif menenangkan pasar.“Reaksi aktif otoritas mungkin diperlukan setidaknya untuk menahan yang mau kabur dari pasar,” kata dia.
Dirinya berharap, otoritas pasar mungkin bisa meningkatkan efisiensi informasi sesuai konsepnya dengan terus menebar berita positif berdasarkan data, misalnya likuiditas, velocity, tingkat keaktifan retail yang tinggi, jumlah investor domestik, peraturan baru yang terus kondusif, serta beroperasinya securities financing.”Ini harus dilakukan dengan menemui langsung pelaku pasar,” ungkapnya.
(Dani Jumadil Akhir)