JAKARTA – Isu pengambilalihan kontrol perusahaan publik (emiten) secara paksa (hostile takeover) yang terjadi di sejumlah emiten di bursa saham Indonesia dinilai dapat merugikan investor publik. Karena itu, otoritas bursa di desak memberikan perhatian khusus agar mampu menyelesaikan konflik internal perusahaan secara adil.
Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI) Sanusi mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) sebaiknya mengatur lebih jauh bagaimana mekanisme pemegang saham publik bisa terlibat dalam susunan manajemen perseroan, apabila jumlah saham publik lebih besar dalam satu perusahaan terbuka.
Baca Juga: Acting in Concert Pemicu Jababeka Default
“Asalkan yang dilibatkan murni pemegang saham publik yang berkumpul, bukan pemegang saham lainnya berniat untuk mengambil alih suatu perusahaan,” katanya dalam rilisnya di Jakarta, kemarin.
Dia menilai, hal ini perlu dilakukan agar seluruh tindakan manajemen perseroan bisa berjalan baik sesuai dengan kepentingan seluruh pemegang saham. Langkah itu juga bertujuan agar perubahan manajemen maupun aksi perseroan bisa dilaksanakan dengan mulus sehingga tidak merugikan kepentingan pemegang saham publik.
Baca Juga: BEI Belum Puas, Saham Jababeka Masih Disuspensi
“Di luar negeri ada istilah proxy, yaitu di mana sebagian besar pemegang saham publik bisa memberikan masukan terhadap perusahaan. Proxy memungkinkan pemegang saham investor publik bisa terlihat dalam mengontrol jalannya perusahaan,” katanya.
Sanusi mengambil contoh konflik pengambilalihan kontrol di tubuh PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Terkait konflik itu, dia menjelaskan, BEI diharapkan mengambil kebijakan untuk melindungi investor publik.
“Otoritas bursa juga diharapkan menggali lebih dalam permasalahan yang dialami pemegang saham Jabebaka sehingga adanya dugaan aksi hostile takeover tersebut, tidak merugikan pemegang saham publik,” ujarnya.