Sejumlah analis juga menilai konflik yang terjadi di tubuh Jababeka tergolong hostile takeover, menyusul proses pergantian pucuk manajemen yang di luar kelaziman. Pemaksaan dalam proses hostile takeover ini cenderung mengorbankan kinerja perusahaan karena harus menanggung risiko gagal bayar (default ) dari kewajiban buyback obligasi.
Head of Research Department of Koneksi Capital Alfred Nainggolan menjelaskan, dinamika yang terjadi pada emiten KIJA lebih mengarah pada konflik pemegang saham. Adanya pergantian susunan direksi yang “mengejutkan” menandakan proses pergantian manajemen yang di luar kebiasaan.
“Kejadian seperti ini bisa dikatakan hostile takoverter lebih dengan terdiversifikasinya pemegang saham KIJA memperbesar peluang terjadinya hal itu,” ujarnya.
(Feby Novalius)