Berdasarkan hal tersebut, menurut Wahyu, mencerminkan memang banyak perusahaan yang menahan ekspansi bisnis, sehingga menahan penerbitan surat utang di tahun Pilpres.
"Tahun 2014 antara yang obligasi jatuh tempo dan yang diterbitkan baru nilainya hampir sama. Tapi di 2015, nilai antara keduanya berbeda, double up (nilai penerbitan obligasi baru dari yang jatuh tempo)," katanya.
Pada tahun ini, lanjutnya, hingga pertengahan Oktober tercatat penerbitan surat utang korporasi sudah mencapai Rp94,5 triliun, sedangkan surat utang jatuh tempo sebesar Rp90,28 triliun. Penerbitan obligasi ini berpotensi meningkat hingga Rp120 triliun di akhir tahun.
"Tiga minggu ke depan saja ada surat utang senilai Rp15 triliun yang berpotensi terbit. Jadi mungkin bisa sampai Rp100 triliun-Rp120 triliun di 2019," katanya.
Sehingga untuk tahun 2020, Wahyu memastikan nilai penerbitan obligasi korporasi akan lebih tinggi dari tahun 2019. Namun nilainya tidak akan mencapai dua kali lipat dari obligasi jatuh tempo, seperti yang terjadi di 2015. Tahun depan obligasi jatuh tempo tercatat sebesar Rp100 triliun.
"Di tahun 2015 ekonomi tidak segalau saat ini. Sekarang ekonomi global sangat tidak pasti, karena adanya perang dagang Amerika Serikat dan China, terlebih ekonomi kedua negara itu juga melemah. Maka enggak bisa seoptimis 2015, kira-kira hanya naik 75% sekitar Rp155 triliun-Rp175 triliun," katanya.
(Dani Jumadil Akhir)