Alasan Kota Besar Dirancang Tak Ramah Akan Kebutuhan Anak

, Jurnalis
Senin 28 Oktober 2019 12:23 WIB
Kota (Reuters)
Share :

JAKARTA - Selama 15 tahun, Palazzo tinggal di apartemen dengan peraturan sewa masa-terbatas di Kota New York, bersama sang suami, Evan, dan pada akhirnya dengan anak laki-laki mereka (kini berusia sembilan tahun).

Meskipun ketiganya harus hidup berhimpitan dalam apartemen satu-kamar, di mana tempat tidur sang anak hanya dua jengkal dari tempat tidurnya, Palazzo bertekad untuk bertahan tinggal di Manhattan. Sebagai seorang aktor dan model lepasan untuk produk sepatu, kesempatan kerjanya lebih banyak tersedia di kota.

Baca juga: 10 Kota Terkaya Dalam Sejarah, Ada yang Sudah Hancur!

Akan tetapi, sekalinya masa sewa apartemen habis, mereka tak punya alasan untuk tetap tinggal mengingat kondisi finansial yang tidak memungkinkan.

Bukan saja karena biaya sewa apartemennya yang jadi tiga kali lipat, tapi juga karena tidak mampu membayar sewa parkir permanen untuk mobil mereka, yang sangat penting untuk bisa mengantar-jemput anak lelaki mereka; terkadang mereka harus berputar-putar sampai dua jam untuk cari tempat parkir di tepi jalan.

Saat itu, mereka juga sedang mencoba untuk punya anak lagi, untuk itu mereka membutuhkan tempat tinggal yang lebih besar. Saat mencari-cari rumah, "kami hanya menemukan rumah-rumah kecil yang lokasinya semakin dan semakin jauh", dengan akses ruang terbuka publik yang terbatas.

Baca juga: 5 Kota Termahal di Asia, Hong Kong Jadi Juaranya!

Setelah perhitungan yang rumit, akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan kota. Palazzo beralih fokus pekerjaan, dari akting ke pekerjaan kreatif yang lebih memungkinkan dilakukan dari rumah seperti penyuntingan video; Evan adalah musisi jazz yang profesinya lebih sering menuntut untuk bepergian.

Palazzo terkejut akan betapa senangnya ia tinggal di pedesaan, dan betapa baiknya anak-anaknya beradaptasi. Awalnya, anak laki-lakinya tidak mahir menaiki tiang permainan bergelantungan, kini ia terampil memanjat pohon.

Meski menyenangi gaya hidupnya yang baru, Palazzo tetap mencintai suasana kota - tapi cukup banyak keluarga lain sepertinya yang mulai menganggap pusat perkotaan semakin tidak menggairahkan.

Baca juga: Kalahkan Singapura, Tokyo Kembali Dinobatkan sebagai Kota Teraman di Dunia

Menurunnya jumlah anak di perkotaan

Kota-kota berpengaruh, di mana 'pemenang mendapatkan semuanya', semakin menarik kalangan profesional penggila kerja dan berpenghasilan tinggi yang tidak punya waktu, uang ataupun ketertarikan untuk membangun keluarga.

Analisa Sensus Amerika Serikat menunjukkan bahwa di kota-kota padat penduduk di Amerika, lulusan perguruan tinggi dengan karakteristik tidak memiliki anak, ras kulit putih, kaya, merupakan demografi yang paling cepat tumbuh.

Sebagai contoh, kota pusat start-up nan mahal, San Francisco, memiliki proporsi penduduk anak-anak paling kecil (13%) di antara 100 kota besar di AS, hampir separuh angka proporsi rata-rata nasional sebesar 23%. Angka itu hampir menurun setengahnya sejak tahun 1970.

Ada sejumlah alasan di balik menurunnya jumlah total penduduk anak-anak di kota-kota besar, termasuk fakta bahwa penduduk di banyak negara, termasuk di benua Amerika, secara umum memang memiliki anak lebih sedikit.

Baca juga: Bogor Utara Akan Jadi Kawasan Pusat Bisnis Baru

Michael Seman, yang meneliti manajemen seni dan tata kota di Colorado State University, menyebut faktor-faktor lainnya, termasuk "para imigran lebih memilih daerah pinggiran ketimbang pusat kota, dan pilihan yang terus-menerus diambil keluarga muda asal perkotaan untuk tinggal di pinggiran kota karena prestasi sekolah yang lebih tinggi, rumah yang lebih besar dan pilihan pekerjaan yang lebih fleksibel".

Hal krusial di antara faktor-faktor tersebut adalah keterjangkauan - atau justru ketidakterjangkauan, apa yang Seman sebut "valuasi real estat yang terus meningkat".

Lia Karsten, peneliti keluarga dan geografi perkotaan di Universitas Amsterdam, mengatakan bahwa banyak keluarga yang secara besar-besaran meninggalkan kawasan perkotaan dalam dua atau tiga tahun terakhir. (Ada pengecualian, misalnya, di Berlin dan beberapa lingkungan di Paris.)

Kali ini mereka tidak memilih pinggiran kota karena visi lingkungan yang lebih indah, melainkan karena mereka tak mampu lagi membiaya kehidupan di kota.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya