Kenapa Investor Pilih Vietnam daripada Indonesia dan India?

Fabbiola Irawan, Jurnalis
Rabu 06 November 2019 15:18 WIB
Perdagangan Ekspor dan dan Impor di Pelabuhan. (Foto: Okezone.com)
Share :

JAKARTA - Dari 56 perusahaan yang merelokasi produksinya dari China (periode April 2018 dan Agustus 2019). Hanya 3 perusahaan yang menanamkan investasinya ke India dan 2 perusahaan ke Indonesia. Para investor berbondong-bondong justru memilih Vietnam dan Taiwan. Mengapa demikian?

Berdasarkan studi yang dilakukan perusahaan jasa keuangan Jepang, Nomura, dari 56 perusahaan, 26 perusahaan memutuskan untuk memindahkan usahanya ke Vietnam, 11 ke Taiwan, dan 8 ke Thailand.

Baca Juga: Gaet Investor China, BKPM Arahkan ke Industri Furnitur di Jateng

Dikutip dari economictimes, Rabu (6/11/2019), hengkangnya investasi dari China dilakukan ketika perselisihan dagang antara China dan AS terus panas. Tarif ekspor dari China semakin mahal untuk importir Amerika. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang memutuskan untuk mencari lokasi investasi baru.

Sebenarnya, mayoritas perusahaan sudah merencanakan kepindahan mereka walaupun biaya di China mulai membaik. Tetapi, banyak perusahaan yang ragu karena kerumitan dan ketidakpastian mengenai kepindahan. Menimbang skala tahun lalu tentang tambahan tarif AS yang dikenakan pada barang-barang buatan China.

Penempatan fasilitas pabrik bukan masalah kecil karena mengatasi tingginya biaya awal serta faktor lain yang perlu dipertimbangkan seperti infrastruktur, komunikasi, dan konektivitas. Memiliki pergudangan yang baik dan hemat biaya, serta dukungan logistik lainnya sangat penting. Hal-hal itu baru permulaan.

Ada juga tantangan untuk menemukan tenaga terampil yang tepat kemudian menempatkan pekerja baru melalui pelatihan khusus untuk proses produksi. Pertimbangan lebih lanjut termasuk dukungan pemerintah, perpajakan yang menguntungkan, kerangka hukum, serta kemudahan dan kecepatan memulai bisnis di negara baru.

Baca Juga: Jokowi: Jangan Sampai Aparat Hukum Dibajak Mafia

Dari sisi geografis, India dan Indonesia sama-sama memiliki demografi yang ideal untuk menjadi pusat kekuatan manufaktur global dengan tujuan menyaingi Tiongkok yang saat ini menghasilkan seperlima dari barang di dunia.

Jadi mengapa India dan Indonesia bukan tujuan investor untuk membangun pabrik yang dipindahkan dari Tiongkok?

Meskipun tingkat pertumbuhan PDB India dan Indonesia tinggi dibandingkan dengan ekonomi global utama lainnya, para ekonom sepakat bahwa kedua negara itu memiliki potensi investasi langsung (FDI) kurang baik pada bidang manufaktur. Sehingga keduanya dijuluki “raksasa tidur.”

FDI adalah indikasi kepercayaan investor eksternal dalam keberhasilan ekonomi dan prospek. Itu merupakan tingkat perusahaan asing berkomitmen untuk investasi jangka panjang di suatu negara.

FDI diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja, menyerap kelebihan pasokan tenaga kerja dan menutup kesenjangan keuangan. Tetapi India hari ini menarik 0,6% dari PDB dalam pembuatan FDI, sedangkan Indonesia menyentuh 1%.

Thailand dan Vietnam dinilai lebih menarik untuk investasi, sedangkan India dan Indonesia dinilai perlu lebih meliberalisasi perdagangan, membelanjakan lebih banyak pembangunan infrastruktur, mereformasi undang-undang pertanahan dan perburuhan, serta menawarkan keringanan pajak untuk investor asing.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo memperkenalkan insentif pajak untuk perusahaan asing yang mendirikan fasilitas manufaktur di negara guna mempermudah bisnis untuk mendapatkan lisensi.

Pemotongan dalam tarif pajak perusahaan juga dilakukan India. Namun, India perlu berbuat lebih banyak. Misalnya, berikan lebih banyak insentif pajak untuk berinvestasi di jenis manufaktur yang diinginkan seperti teknologi tinggi dan manufaktur. Ini juga harus memudahkan untuk mengimpor komponen sehingga lebih banyak pekerjaan perakitan dapat dilakukan di India.

Indonesia berniat untuk menghabiskan 40% dari PDB tahunan untuk infrastruktur selama 5 tahun. Kendati demikian, pembiayaannya menjadi masalah karena lemahnya aliran masuk FDI dan terbatasnya ruang untuk bermanuver dalam kebijakan fiskal.

Di kedua negara, ada ketergantungan besar pada transportasi jalan raya. Padahal kereta api dan kapal laut lebih mudah jangkauannya, ini dapat menghemat biaya dan waktu bagi dunia bisnis.

Budaya manufaktur yang lazim di negara-negara seperti Jerman, Jepang, China dan Korea Selatan hilang di India dan Indonesia. Tidak hanya harus ada program pelatihan kejuruan untuk melengkapi mereka yang tertarik dengan keterampilan yang diperlukan tetapi kemauan warga negara harus ditingkatkan.

Indonesia kekurangan lulusan manufaktur. Menurut konsultan bisnis global McKinsey & Company, Indonesia hanya menghasilkan delapan lulusan STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika) per 1.000 warga negara, sedangkan 20 lulusan untuk India dan 34 lulusan untuk China.

India masih mendapat berita bahagia yaitu perusahaan seperti Samsung dan Apple sudah membuat beberapa ponsel mereka di India. Apple yang telah memproduksi komponen iPhone dan model lama di India berharap untuk mulai membangun iPhone XS dan SR di India tahun ini. Pabrik Samsung di Noida adalah salah satu yang terbesar di dunia dan 30% total produksi untuk dilakukan ekspor.

Meskipun ada kemajuan, masih banyak yang harus dilakukan jika India ingin mencapai tujuan. seperti apa yang sudah dicanangkan PM Modi, pertama kali menyatakan pada tahun 2014, untuk meningkatkan pangsa produksi PDB menjadi 25 persen pada tahun 2025.

(Feby Novalius)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya