JAKARTA - PT PLN (Persero) mencatat pendapatan atau revenue dari penjualan listrik menurun hingga Rp3 triliun dalam satu bulan. Hal itu disebabkan dampak dari pandemi Covid-19.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menyebut, pada 2019 lalu revenue listrik PLN bisa mencapai Rp25 triliun per bulan. Namun merosot tajam hingga ke angka Rp22 triliun. Itu terjadi lantaran permintaan listrik anjlok lebih dari 10% dibanding pada kondisi normal sebelumnya.
"Penurunan penerimaan listrik per bulan Rp3 triliun akibat Covid-19," kata Zulkifli dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Selasa (25/8/2020).
Baca Juga: Cecar Bos PLN soal Utang Rp694 Triliun, Mulan Jameela: Mengagetkan dan Tak Sehat
Meski begitu, Zulkifli tetap optimis mampu mencatatkan kinerja keuangan perseroan yang membaik pada tahun ke depan. Di mana, kata dia, pada akhir kuartal II tahun ini permintaan atau konsumsi listrik mulai meningkat.
Dalam kesempatan itu juga, Zulkifli memaparkan perbandingan beban kelistrikan dari Januari ke Maret 2020 masih tumbuh 1,26%. Namun, mulai anjlok pada April dengan minus 6,9%. Kondisi ini semakin parah pada Mei, di mana penurunan minus 17%. Namun, tingkat konsumsi listrik mulai membaika dalam dua bulan terakhir, yakni pada Juli dengan minus 6% dan Agustus minus 3%.
Sebelumnya, manajemen PLN memproyeksikan pendapatan perseroan pada 2021 bisa mencapai Rp 391,7 triliun. Itu karena diyakini kinerja perseroan akan kembali membaik pasca pandemi Covid-19.
Zulkifli mengatakan, untuk mencapai target pendapatan senilai Rp391,6 triliun, sejumlah langkah keberlanjutan operasional PLN akan ditempuh. Dia pun merinci sejumlah langkah strategis yang nantinya dilakukan pihaknya seperti, meningkatkan penjualan listrik untuk pelanggan besar, meningkatkan penjualan melalui promosi pemasaran, dan menjaga kecukupan pasokan listrik.
Selain itu, perseroan juga akan memberikan tarif kompetitif untuk pelanggan industri yang dinilai dapat mendorong konsumsi listrik dan mendorong roda perekonomian dalam negeri. "PLN juga akan melakukan efisiensi dengan mengoptimalkan bauran energi melalui produksi listrik dari pembangkit non-BBM," kata dia.
Langkah berikut, kata dia, menurunkan biaya energi primer dengan mengoperasikan pembangkit energi baru dan terbarukan seperti biofuel dan solar panel di daerah terpencil. Serta, mengupayakan pemberlakuan DMO batu bara dan gas dalam rangka menjamin kepastian biaya dan pasokan energi primer.
Zulkifli juga menyebut progres pembangunan listrik 35.000 megawatt (MW) sudah beroperasi efektif sebanyak 23,6%. Bahkan, pengerjaannya sudah tersambung secara keseluruhan telah yang mencapai 78,4%.
"Artinya sudah lebih dari 3/4 dari program tersebut dimulai pembangunan fisiknya. Sementara yang sudah benar-benar beroperasi adalah sebesar 23,6%," kata dia.
Program pengadaan listrik 35.000 MW, lanjut dia, sebagian besar mengandalkan bahan bakar batu bara. Untuk itu, perusahaan pelat merah tersebut membutuhkan harga batu bara yang kompetitif untuk penyediaan listrik.
Program itu sendiri yang sebagian berbasis bahan bakar batu bara akan meningkatkan PLTU Indonesia. Di mana, setiap tahun masa produksi pembangkit listrik adalah 30 sampai 40 tahun sehingga perlu dipastikan kesediaan batubara dengan harga terjangkau dan jumlah yang memadai.
(Dani Jumadil Akhir)