JAKARTA - Perjanjian ekonomi komprehensif Indonesia-EFTA CEPA telah ditandatangani. Hal ini menjadi kabar baik utamanya bagi penerimaan produk kelapa sawit Indonesia di Eropa.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menilai, penerimaan EFTA terhadap produk kelapa sawit Indonesia menunjukkan bahwa resistensi sebenarnya tidak dilakukan oleh semua negara Eropa. Bahkan di Uni Eropa hanya beberapa negara saja yang kebetulan punya pengaruh di parlemen yang menghambat perdagangan kelapa sawit Indonesia di Kawasan itu.
“Empat negara tersebut, yaitu Lietchtenstein, Swiss, Norwegia dan Islandia menambah deretan negara-negara Eropa yang sebenarnya menerima kelapa sawit kita. Kalau kita bertemu dengan pemerintah maupun parlemen di banyak negara Eropa sebenarnya memang menunjukkan sambutan yang positif,” kata Wamendag di Jakarta, Sabtu(8/5/2011).
Baca Juga: Tantangan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia Timur
Melihat kecenderungan itu, Wamendag makin optimis dengan arah perjuangan Indonesia untuk menghapus diksriminasi ini. Pada intinya negara-negara Uni Eropa harus melihat persoalan sawit dengan objektif dan proporsional.
Kebutuhan minyak nabati semakin besar di seluruh dunia. Tidak semua sumber minyak nabati bisa memenuhi kebutuhan dengan efisien seperti kelapa sawit.
Baca Juga: Kasus Covid-19 di India Melonjak, Ekspor Sawit RI Bagaimana?
“Dilihat secara relative dan obyektif. Kalau kita menanam sumber minyak nabati lain seperti rapeseed, sebenarnya kebutuhan lahan dan dampak ekologisnya 6 kali lebih besar dari kelapa sawit. Jadi secara ekologis dan ekonomi tidak efisien. Justru kelapa sawit menjadi solusi yang tepat untuk itu,” ujarnya.
Jerry juga menilai bahwa teknologi perkebunan, pemupukan, pengolahan air, pengolahan dan berbagai hal yang berkaitan dengan industri kelapa sawit terus berkembang. Ini membuat kelapa sawit akan makin efisien secara ekologis. Selain itu standarisasi produksi dan lingkungan kelapa sawit juga semakin ketat.